Postingan

Menampilkan postingan dengan label Puisi

Lorong Hati

Gambar
Tak pernah 'ku inginkan bahwa hati kembali bertawajah pada ingatan masa lalu Namun ia kembali memutar arah, menemukan rona ingatan dan sebuah wajah Ia jemput resah dan tawa yang tersisa Demi sebuah kisah, Tak ada sapa apalagi kata Hening Bening Hampa Ingatan yang terbelenggu Ingatan yang bangkit dari layu Ingatan yang menari dari permukaan gambar, tak berkanvas. Ada warna Ada harap dan ada cemas, Ingatan yang kembali ke lorong waktu, dan pulang ke luruh hati. Dusun Curup, 2/1/2015. Pukul 3.01

Bersamamu

Puisi : Muh. Sholihin Tidak sekali aku titipkan kata, bahwa engkau adalah jingga. Aku menari di bawah cakrawala kemerahan itu, sambil mendeburkan bait-bait rasa untukmu. Pun kau adalah cakrawala yang memberikan aku mata hati Telah kau sirami hatiku yang mati, layuh menjadi sesegar tumbuhan perdu ketika embun menyapu kelopaknya. Aku kembali bersemi setelah nestapa merampas keberanianku untuk memunajatkan cinta. Hatiku riuh dalam setiap peristiwa yang kau gubah bersamaku, dengan jentik-jentik tawa dan tanggis. Dalam setiap tetesan keringat bahagia dan keringat duka, kita sama-sama mentasbihkan diri, hingga detak berhenti tanpa nada, hanya dengkuran cintaku yang tersisa untukmu. Membuai malam, hingga pagi menjelang. Telah aku zikirkan cinta sepanjang malam, untukmu. Tahukah, Selarik peristiwa denganmu adalah semacam simfoni yang menghentakkan aku masuk ke dalam labirin. Aku tersesat di dalamnya dan tak mampu lagi keluar hingga aku benar-benar mati...

Gigilku

GIGILKU Oleh Muh. Sholihin 1/ Gigil ini masih berlarut, setelah mendapatkan kalimat yang pecah dari rahim kemarahanmu, “Jangan hubungi aku lagi.” Pesanmu. Bertambah kuat gigil ini ketika hujan pecah di badanku, kuyup hati ini dalam galau. Tahukah dirimu, kebencianmu awalnya adalah penjagaanku terhadapmu agar jangan lagi tergelincir, cukuplah. Dirimu memaknai itu sebagai belenggu, yang meruntuhkan keluguanmu menapaki dunia yang licin, berkelok dan penuh pendakian. Bagiku dirimu adalah bayi yang masih merah, dan rapuh. Maka kalimatku yang berpalung menengelamkan hari-harimu, adalah nyanyian jiwaku yang acak dan liar. Bagiku itu merdu, bagimu sebuah ejekan. Kita memang berbeda, segalanya. Perasaan dan tujuan hidup. Satu yang tidak berbeda dan tidak akan berubah, hanya perasaanku terhadap dirimu. Meski air liurmu menumpahiku dengan serapah. Aku diam seperti Romoe, yang mati-kaku dalam genangan racun kebencian dan amarah “sang lain”. 2/ Aku menge...

Pagar

1/ Hidup bagimu ada pada carik-carik kertas, bernominal. Kau tuba hidup hingga mati, tak bermakna. Kakimu menjadi tapak-tapak ganas, memipih jentik-jentik menjadi kutu. Benakmu cair, menjadi tuak racun. Donggak kepalamu, menjadi peluruh langit. Tuhan kau hardik apalagi jentik dan kutu-kutu. Pagi hari dengkurmu mengusir malaikat. "Jangan datang lagi duhai malaikat! Tak perlu lagi kau bawakan semangkuk teh dan roti. Kertas-kertas ini cukup bisa membuatku gemuk. Jangankan itu, surgapun bisa ku beli jika Tuhan butuh logam ataupun emas." Ini mantra yang kau rapalkan setiap detak jantungmu. Di mataku, kau itu hanya babi gemuk, berlemak. Dan kau orang tua pikun, yang lupa akan asalmu. 2/ Sehabis subuh, sejak mentari beranak cahaya, telah kau pagari diri dengan carik-carik kertas, bernominal. Setelah itu, kau menjadi pembunuh dingin. Tak ada batang tubuh, yang bisa mengintip nyawa eksistensialitas di jendalamu. Pasti 'kan kepal tinju, hingga kepala mereka r...

Pelacur Jingga

1/ Masih seperti jingga, kau membuyar siang, menerjang malam dengan tarian-tarian selangkangan. Mengali lorong dari tubuhmu yang cair oleh terik zaman, yang semangkin binal, lebih sundal dari setungkup nafasmu. Kau berdiri diantara celah dua palang kayu, menatap kelam ingin menujum rindu pada bebintang yang lerai dalam kerdap-kerdip kota yang tak lagi melahirkan Eros. Dan lewat celah jingga, senyummu masih saja merekah, meski nyalimu ciut menderap hidup yang pasti membuang indangmu di rawa-rawa kehidupan, busuk dengan aroma bangkai yang mati dalam liang lahar yang dicaharkan malam. Pada pengap hidup, kau berkata "Aku dipenjara, jingga yang kian menghitam." Katamu itu mampu mencaharkan lahar dari hati yang bergelora tapi tetap muntahkan dalam percik api, hingga kau mengelepar seperti diterjang maut. Katamu lagi, di pintu kematian pada setiap malam,"Hidup ini perih, seperti maut." Tapi entah mengapa kau masih disana, berdiri hingga subuh tengelam di sam...

Peziarah Makna

Peziarah Makna Bual-bual Muhd. Sholihin 1/ Di depan monitor, aku terhubung denganmu lewat "spot" frekuenzi, yang berhamburan membubung ke titik pantul satelit. Ingin 'ku menubuh dengan mu, lewat pertemuan ragawi. Tapi, di sini tak tersedia. Melainkan hanya tabung kaca, dan selarik cahaya kerdap-kerdip dari "bandwith", yang memisahkan aku dan eksistensmu. Kita begitu terganjal. Dalam persentuhan ini, makna dan hakikat begitu hambar. Lagi-lagi kita bukanlah kemenubuhan. Aku hanya bisa membaca rinai zaman di wajahmu, lewat kata, yang tak lagi esensial. Hanya regulasi tanda-tanda. Pun, larik-larik mega yang berlari seperti puzle-puzle huruf, pecah-pecah. Katamu, sama saja. Lalu kemanakah kita pergi, untuk sekadar menjadi peziarah makna. Ke hutankah? Juga, tidak. Atau ke makan, Para Syekh-kah? Juga, tidak ada kemenubuhan di pusara itu. 2/ Kata, penyair berambut gimbal. Ia berladang, kutu dan kotembe. Cukup pada bingkai hidup saja. Lalu lewat, hati dan erotik...

Nujum Waktu

1/ Ia bak pedang. Kata tuan, dulu, di tepi lingkaran halaqah, al- waqt ka sayf . Masih tergiang-ngiang kata-kata itu, hingga menjadi melodi tak jadi-jadi. Ia mengalir, tak jedah, ia tak berhenti. Kendati, di ujung bumi, sejuta doa masih saja menjadi lintuni juga tak jadi-jadi. Ia terus melaju, menujumkan "sebilah", lalu putus pada persinggahan. Apa yang tersisa, bagi setangkai tubuh, di pinggir waktu selain "nujum-nujum". Menjadi gerai, yang terus bergoyang karena diwan seiring seruling yang bertiup jingga di kepala. Ya, tengah bernujum, kala lerai waktu, sekadar berjabat. Lalu tak lagi berdamai. 2/ Dalam waktu, menjadi.Tubuh bertumbuh, seiring jubah benak kian mentangkup realitas. Dalam waktu, membubung udara tinggi, jika saja tak berdamai dengan puting beliung dari zaman di atas cakrawala, tanpa realitas. Dalam waktu, menanak racun, jika mulut berbusa meminum arak dari erotika zaman. Juga dalam waktu, ada, jika saja masih terus bernujum menyayat harapan menja...

Sajak-sajak Muhd. Sholihin

Suara Uang Tak lama lagi akan bubat di tanah Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa ini. Akankah kita berkuah uang lagi. Sudah hampir pecah telingga ini, mendengar gemerincing uang yang 'kau' hamburkan di gelangang pembunuhan tersembunyi,pada pemilihan di ujung senja. Tuan! Suara rakyat memang murah, tapi tidak hati mereka. Tuan! Tambur telah ditabuh. Ke sanakah kau akan menyusup? Membawa banyak buntil uang. Mungkin bagimu uang sakti. Karena ia bisa membeli nyawa, bahkan suara. Sungguh, tuan kau hanya bisa menguasai suaraku tapi tidak hatiku. Jika masih saja kau mengandalkan uang, maka kian ditampiklah dirimu oleh jelata, yang hampir melata oleh bau karet, yang diperam satu tahun. buat tuan yang berlaga untuk Dharmasraya ini suaraku, yang sengau. tapi cukup melegakan jelata, yang baru saja bangun untuk kembali menghitung batang karet, yang mulai tua Yogyakarta, 11 Februari 2010 Sukma Nietzsche Kita terlempar, menjadi pertapa sunyi di kali kehidupan. Kita terlempar, menjadi ...