Bersamamu

Puisi : Muh. Sholihin

Tidak sekali aku titipkan kata, bahwa engkau adalah jingga. Aku menari di bawah cakrawala kemerahan itu, sambil mendeburkan bait-bait rasa untukmu.
Pun kau adalah cakrawala yang memberikan aku mata hati
Telah kau sirami hatiku yang mati, layuh menjadi sesegar tumbuhan perdu ketika embun menyapu kelopaknya. Aku kembali bersemi setelah nestapa merampas keberanianku untuk memunajatkan cinta.

Hatiku riuh dalam setiap peristiwa yang kau gubah bersamaku, dengan jentik-jentik tawa dan tanggis. Dalam setiap tetesan keringat bahagia dan keringat duka, kita sama-sama mentasbihkan diri, hingga detak berhenti tanpa nada, hanya dengkuran cintaku yang tersisa untukmu. Membuai malam, hingga pagi menjelang. Telah aku zikirkan cinta sepanjang malam, untukmu.

Tahukah,
Selarik peristiwa denganmu adalah semacam simfoni yang menghentakkan aku masuk ke dalam labirin. Aku tersesat di dalamnya dan tak mampu lagi keluar hingga aku benar-benar mati dalam lorong-lorong hatimu dan aku sendiri tak tahu di mana tepinya. Kau telah menyanderaku, tanpa kau pahami makna dan kau sadari artinya. Hanya aku yang tahu ketika kau sibuk dengan ekstase cintamu yang awal.

Sekali saja,
Buka sedikit hatimu bahwa hidup adalah “kemungkinan-kemungkinan”. Juga cinta. Ia adalah kemungkinan. Setiap jejak cinta yang dijalani adalah kemungkinan; antara ambang pasti dan tidak. Antara sejati dan nisbi. Juga aku. Bersama larik-larik jingga aku nubuwatkan padamu, bahwa aku adalah kemungkinan  pada sebuah titik akhir dan bakal menemanimu sampai lahat, ketika cinta itu menghempaskan ke dalam rongga-rongga gelap, air matamu mengali liang-liang hati; mengoreskan luka dan perih. Pada saat itulah aku bakal menjadi sebuah kemungkinan untukmu. Karena kau adalah akhir, maka cintaku padamu akan mengubah sebuah titik pada sebuah akhir. Dan kita tidak benar-benar tahu. Sama-sama menenggelamkan diri pada absurditas pengharapan.[]

Demangan, 23/12/2011. Pukul. 21.16 PM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”

Gigilku