Peziarah Makna

Peziarah Makna
Bual-bual Muhd. Sholihin

1/
Di depan monitor, aku terhubung denganmu lewat "spot" frekuenzi, yang berhamburan membubung ke titik pantul satelit. Ingin 'ku menubuh dengan mu, lewat pertemuan ragawi. Tapi, di sini tak tersedia. Melainkan hanya tabung kaca, dan selarik cahaya kerdap-kerdip dari "bandwith", yang memisahkan aku dan eksistensmu. Kita begitu terganjal. Dalam persentuhan ini, makna dan hakikat begitu hambar. Lagi-lagi kita bukanlah kemenubuhan. Aku hanya bisa membaca rinai zaman di wajahmu, lewat kata, yang tak lagi esensial. Hanya regulasi tanda-tanda. Pun, larik-larik mega yang berlari seperti puzle-puzle huruf, pecah-pecah. Katamu, sama saja. Lalu kemanakah kita pergi, untuk sekadar menjadi peziarah makna. Ke hutankah? Juga, tidak. Atau ke makan, Para Syekh-kah? Juga, tidak ada kemenubuhan di pusara itu.

2/
Kata, penyair berambut gimbal. Ia berladang, kutu dan kotembe. Cukup pada bingkai hidup saja. Lalu lewat, hati dan erotika yang bergejolak di dada dan selangkahan jiwa, kau akan menemukan kemenubuhan. Kata, Ayu Utami, cukup pada Gua Kafur, seperti liang-liang kematian dan kehidupan, maka kau akan menemukan kemenubuhan lewat, tarian sundal kebebasan. Katamu, juga tidak. Kita sama-sama hambar. Tidak satupun kemenubuhan, akan kau temui ke sana. Kau katupkan bibirmu, menjadi "energi kata mekanika", cukupkan saja kita menjadi peziarah makna. Lalu tunggu saja malam pengantimu, ketika Tuhan Hudan, yang dicela penabur bumiputra itu, mampir lalu menjadi wali, yang membuhul "tanpa dunia" dalam jarak dan dunia tanpa spasi.

Tidak untuk siapa-siapa. Hanya untuk Aku

Dunia Tanpa Kotak, 20.02.10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”

Gigilku