Nujum Waktu

1/
Ia bak pedang. Kata tuan, dulu, di tepi lingkaran halaqah, al- waqt ka sayf. Masih tergiang-ngiang kata-kata itu, hingga menjadi melodi tak jadi-jadi. Ia mengalir, tak jedah, ia tak berhenti. Kendati, di ujung bumi, sejuta doa masih saja menjadi lintuni juga tak jadi-jadi. Ia terus melaju, menujumkan "sebilah", lalu putus pada persinggahan. Apa yang tersisa, bagi setangkai tubuh, di pinggir waktu selain "nujum-nujum". Menjadi gerai, yang terus bergoyang karena diwan seiring seruling yang bertiup jingga di kepala. Ya, tengah bernujum, kala lerai waktu, sekadar berjabat. Lalu tak lagi berdamai.

2/

Dalam waktu, menjadi.Tubuh bertumbuh, seiring jubah benak kian mentangkup realitas. Dalam waktu, membubung udara tinggi, jika saja tak berdamai dengan puting beliung dari zaman di atas cakrawala, tanpa realitas. Dalam waktu, menanak racun, jika mulut berbusa meminum arak dari erotika zaman. Juga dalam waktu, ada, jika saja masih terus bernujum menyayat harapan menjadi iris-iris, persetubuhan dalam denyut hati, dalam gerai semangat yang menjantung.

3/

Waktu di atas pusara, menguburkan masa lalu dalam carik-carik roman yang kian meremang, lalu kabur. Aku di atas waktu bagaikan seekor gagak hitam berbarengan dengan rel kereta api yang melesat-lesat, sejajar, seragam, bergaris lurus. Di ujung, ketika sebuah batas kian dekat, dalam segengam sayap dari laki-laki berjubuh hitam, waktu itu akan berlari meninggalkan 'ku dalam gigil dalam pangilan-pangilan, yang juga di ajarkan, dulu di tepi halaqah. Ujung dan akhir, pada halaqah berpinak mantra-mantra. Berdamai, dengan Tuhan.

Ya, rabbi izzati wa anta mauli wa maula, anta hubi wa huba. Ilaika maqasudi!
Melanjutkan nadi! yang masih terus berdetak

Yogya, 18/02/2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”

Gigilku