Pelacur Jingga

1/

Masih seperti jingga, kau membuyar siang, menerjang malam dengan tarian-tarian selangkangan. Mengali lorong dari tubuhmu yang cair oleh terik zaman, yang semangkin binal, lebih sundal dari setungkup nafasmu. Kau berdiri diantara celah dua palang kayu, menatap kelam ingin menujum rindu pada bebintang yang lerai dalam kerdap-kerdip kota yang tak lagi melahirkan Eros. Dan lewat celah jingga, senyummu masih saja merekah, meski nyalimu ciut menderap hidup yang pasti membuang indangmu di rawa-rawa kehidupan, busuk dengan aroma bangkai yang mati dalam liang lahar yang dicaharkan malam. Pada pengap hidup, kau berkata "Aku dipenjara, jingga yang kian menghitam." Katamu itu mampu mencaharkan lahar dari hati yang bergelora tapi tetap muntahkan dalam percik api, hingga kau mengelepar seperti diterjang maut. Katamu lagi, di pintu kematian pada setiap malam,"Hidup ini perih, seperti maut." Tapi entah mengapa kau masih disana, berdiri hingga subuh tengelam di samudera putih, dalam dengkur kematian.

2/

Kau naiki keping-keping kayu tangga kehidupan lewat celah rinai, demi sekeping kertas. Ketika berlabuh di antara dua celah pintu kematian, kau masih saja tersenyum, merayu malaikat yang tengah kasmaran pada liang-liang langgit. Katamu dalam kerling mata, yang memadamkan malam "Aku bawa kuldi yang dulu mengusir kita dari surga. Ambillah, karena surga tidak dilanggit tapi disini dalam sari pati buah ini." Malaikat berdehem dalam ghirah yang meletup-letup. Di pintu langgit heran, ketika Mikail mengintip di jendela zaman. Ia berdecak dalam gemuruh sungai yang terjun dari kanal hatinya,"Kenapa bisa kau, yang telah menjadi malaikat, patah dalam perjalananmu menuju pohon bodhi di jenjang seribu tangga nirwana. Karena panah Eros 'kah." Malaikat yang patah, menjelang kematian, hanya mengulum senyum, berdialog dengan Tuhan. "Aku telah memilih. Kini tingal 'kau, beranikah memapahku kembali atau sanggupkan 'kau merajut puas dengan melemparku pada rawa-rawa di peranakan liar berular." Pelacur jingga, masih saja menunggu pada sebingkar tanah dari abu-abu sehabis pembakaran jiwa. Ia masih terus membentangkan sayapnya yang terbuat dari nyawa-nyawa, siap kembali membawamu pergi bersama pengusiran, yang memilukan hingga berderak pada rentak-rentak kota.

"Narasi bisu, bagimu di antara dua palang pintu. Ketika kau mengumbar jingga, bersidekap dengan malam."

BEO I, 18 Maret 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”