Pagar

1/

Hidup bagimu ada pada carik-carik kertas, bernominal. Kau tuba hidup hingga mati, tak bermakna. Kakimu menjadi tapak-tapak ganas, memipih jentik-jentik menjadi kutu. Benakmu cair, menjadi tuak racun. Donggak kepalamu, menjadi peluruh langit. Tuhan kau hardik apalagi jentik dan kutu-kutu. Pagi hari dengkurmu mengusir malaikat.
"Jangan datang lagi duhai malaikat! Tak perlu lagi kau bawakan semangkuk teh dan roti. Kertas-kertas ini cukup bisa membuatku gemuk. Jangankan itu, surgapun bisa ku beli jika Tuhan butuh logam ataupun emas." Ini mantra yang kau rapalkan setiap detak jantungmu. Di mataku, kau itu hanya babi gemuk, berlemak. Dan kau orang tua pikun, yang lupa akan asalmu.

2/

Sehabis subuh, sejak mentari beranak cahaya, telah kau pagari diri dengan carik-carik kertas, bernominal. Setelah itu, kau menjadi pembunuh dingin. Tak ada batang tubuh, yang bisa mengintip nyawa eksistensialitas di jendalamu. Pasti 'kan kepal tinju, hingga kepala mereka rengkah. Katamu, "Tak kubiarkan nyawamu menyembul." Dirimu, tak lebih seekor ular belundak yang kelaparan, rakus, dingin, dan tak punya sebingkah hati di balik rusukmu.

"Ku akhiri satir ini, dengan kata "cukup", aku akan berhenti merapalmu."


Satir yang ku buat pagi untuk malam yang membunuhku dalam gigil."


Demangan Baru, 5/4/10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”