Kawi


KAWI


 a flash fiction
Publishing at :

http://flashfiction.ubudwritersfestival.com/2010/08/kawi/

 


"Sudah abak bilang, jangan kau langgar aturan adat, kawin satu suku. Tapi kau bingal, malah kau lebih takut pada cintamu itu ketimbang adat. Kini lumpuh tubuhmu dimakan kawi."
"Bukan aku hendak bingal, menentang hukum adat, bak. Tapi dalam agamaku, agamamu juga, tidak ada larangan kawin satu suku. Apalagi Kayla ridha memberikan cintanya padaku." Sirun serius merespon cercah abaknya di senja yang rampun.
 "Tapi, kini kau merasakan akibatnya bukan! Anakmu cacat, kepalanya berlobang, tak satu dokterpun tahu penyakitnya. Jika bukan karena kawi, lantas apa, hah?"
Sirun diam, melempar hela dalam jingga. Dalam benaknya bersigesak galau yang berwujud kemusykilan, antara percaya atau tidak bahwa hukum kawi itu ada. Meski dirinya adalah anak modernitas, tumbuh di kota, besar dari ceramah dan buku-buku, tapi ketika ia bertemu dengan, yang kata abaknya “kawi”, rasionalitasnya ciut.
“Tapi mengapa anakku yang menangung kawi ini, bak? Bukankah aku dan Kayla yang kalian persoalkan, karena kami membelot dari hukum adat, kawin satu suku, lalu bergelimang kawi. Aku benar-benar tak habis pikir, Minangkabau yang kata Tan Malaka mempersendikan kekuasaan pada rasionalitas, tapi masih diserobot dogma irrasionalitas, seperti kawi yang kalian hamburkan padaku.”  Sirun mencoba menghantam abaknya dengan rasio yang masih tersisa, bertengger di otaknya.
“Kau ini terdidik, tapi picik dalam ke-modernan pikirmu itu. Jubah nalar itu juga yang membuat dirimu berani menelikung “tradisi” kita, untuk kawin satu suku. Kau larikan Kayla ke ujung pulau Sumatera. Kau khatami cintamu itu di bawah tangan seorang hakim, yang tak bersauh darah dengan Kayla. Jika kau cerdas, pasti kau akan merasa tak enak hati, dan nurani pun akan menolak pikiran baru, buah dari rasionalitas cinta yang kau ramu, hanya semata karena hasrat mempersunting Kayla, bunga desa Piruko, rebutan para bujang. Lantas kau beraki kepala suku Sinaro Hitam, emakmu!” Makdo Ham, abak Sirun menjambaki kalimat Sirun, hingga luruh menyatu dengan debu yang berpusar dalam jelaga angin puyuh, seperti juga Sirun, diam tak bergutik menukas kalimat abaknya. Seperti sore yang terkatup malam, buyar dalam jelaga kelam. Gundah tersisa di dadanya, tak tahu sampai kapan tuntas dan pupus.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”