Banalitas Pasar Bebas


Oleh: Muhammad Sholihin

REZIM pasar bebas di negara-negara APEC, akan bertambah mapan. Terkait dengan komitmen negara-negara APEC, kembali mengagas strategi trans-pasifik (TPP). Dengan komitmen ini kemudian Pasar bebas akan menjadi keniscayaan, yang diangap mutlak. Sementara itu, secara historis-politik APEC telah menampakkan diri pada publik sebagai pembela ekonomi pasar bebas. Tak ayal kemudian APEC menjadi garda utama menghubungkan ekonomi kawasan dengan bersandarkan pada diktum pasar bebas. Untuk tidak mengatakan kuda hitamnya neo-liberalisme.

Mafhum, jika APEC memperjuangkan terciptanya iklim pasar bebas sebagai soko bagi ekonomi kawasan negara-negara APEC. Hal ini dipicu oleh asumsi bahwa dalam perdagangan internasional dibutuhkan iklim yang sehat guna menunjang siklus transaksi berjalan. Pasar bebas dalam bentuk ini seperti kereta kencana yang bakal menghantarkan dinasti ekonomi pada singgasana, tanpa hambatan. Sehingga lahirlah apa yang disebut “neo-rezim pasar bebas”. Inilah era dimana keimanan atas pasar bebas kembali dikokohkan. Dan menjadi altar dimana pasar bebas kembali disakralkan.

Pergerakan dinasti pasar bebas, sebentar lagi akan dimulai. Dari negara-negara Anglo-Amerika akan merambah ke Anglo-Timur, seperti China, Jepang, barangkali juga Indonesia. Di kawasan Asia dinasti ekonomi ini akan menjadi pembela terhebat sepanjang historis-ekonomi pasar bebas. Rapuhnya ekonomi Amerika Serikat di bawah bendera Anglo-Amerika, secara bersamaan menandaskan intensi ekonomi Anglo-Timur lebih imun, seperti China dan Jepang.

Keniscayaan sebuah dinasti ekonomi adalah lahirnya logika-korparatisme. Sebuah logika ekonomi dimana pertumbuhan hanya bisa dilakukan dengan ekspansi ekonomi melewati batas-batas teritorial dan nations-state. China adalah potret terpenting atas hal ini. Hampir sepanjang sejarah perabadan China, kekuatan ekspansi ekonomi telah menjadi karakter utama. Sehingga tak ayal kemudian China akan menjadi raksasa ekonomi, melanting jauh meninggalkan Amerika Serikat.

Bisa dikatakan kebangkitan ekonomi China dan imunitas ekonomi Jepang, menjadi bintang pijar, yang menginspirasi negara-negara APEC untuk meniru semangat ekonomi China dan Jepang. Dan menjadi China hanya bisa dilakukan ketika tersedia regulasi dan iklim politik-ekonomi yang mendukung. Itu adalah pasar bebas. Tanpa pasar bebas tidak akan ada kanal yang aman untuk melakukan ekspansi ekonomi. Terlebih jika blokade malaikat yang dinamakan “proteksionisme” di anut oleh negara-negara berkembang. Maka akan patahlah selera korporasi trans-internasional, merajai rimba ekonomi.

Pasar bebas adalah arena yang paling gaduh. Di sini pengalaman ekonomi kembali diproduksi. Keimanan akan ekonomi kesejahteraan kembali diformat ulang untuk kemudian digantikan dengan ekonomi-konglomerasi. Dua kegaduhan muncul seiring bersatunya dua idiom “pasar” dan “kebebasan”. Pasar, kata Nietzsche ada ruang kegaduhan. Ia mencari altar dimana darah-darah beracun dipompakan. Demikian adalah di mana kesendirian berhenti, pasar pun mulai riuh. Berbarengan dengan riuh rendah para aktor besar dan desau kerumunan lalat beracun. Pasar dalam bentuk ini adalah kategori bagi lingkungan yang “mati”.

Pasar dengan idiom tambahan “bebas” menjadi potret atas giantisasi ekonomi para lalat, untuk tidak mengatakan korporasi. Dapat dilihat sekaligus dirasakan bagaiman dahsyatnya erotisme ekonomi yang ditimbulkan pasar ketika kebebasan menyatu menjadi jiwa dari pasar itu sendiri. Ekonomi internasional akan menjadi banal seiring terjiwainya kebebasan dalam pasar ekonomi. Kebebasan, kata Erich Fromm, adalah “kuda hitam” manusia untuk melarikan diri dari belenggu. Tapi sayang kuda itu buta. Untuk memperjuangkan kebebasan, siapapun akan terjebak pada kawah ambiguitas kebebasan. Betapa tidak. Manusia untuk bebas pun harus menindas. Untuk mengapai kebebasan manusia harus berani melawan kelompok yang bingal mempertahankan hak-hak mereka.

Dus, Pasar Bebas, menjadi ruang dimana pengalaman akan banalitas ekonomi kembali diproduksi. Dengan pasar bebas, ekspansi ekonomi korporat akan selalu menengarai semangat membebaskan diri secara anarkis dari gigitan kecil ekonomi mikro kecil dan menengah. Dengan adanya kesepahaman akan pasar bebas, korporat kelas-kelas wahid, tak perlu mengotori tangan mereka untuk membunuh nyamuk-nyamuk kecil ekonomi domestik. Cukuplah negara yang menjadi pembunuh. Sebab dalam ekonomi pasar bebas permainan sendiri (baca; aturan) yang akan melemparkan ekonomi domestik ke pinggir arena pertarungan ekonomi.

Salah satu pendasaran dari ekonomi pasar bebas adalah pesona “positivisme pertumbuhan ekonomi”. Ini adalah kawah di mana rezim Berkeley, merumuskan diktum-diktum ekonomi tanpa hambatan, tanpa proteksi. Mereka mengimani secara kaku, sedikitpun tak bergeming bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai melalui penciptaan jalur ekonomi secara bebas, tanpa hambatan. Jangankan negara Tuhan pun tak boleh intevensi jika “gong” ekonomi pasar bebas telah ditabuh bertalu-talu.

Di balik diktum yang cantik itu, ada yang dilupakan, yakni diktum tentang keberpihakan. Pertanyaannya, ekonomi pasar bebas itu untuk siapa? Dan ramalan akan pertumbuhan positif seperti apa yang diimajinasikan oleh kelompok Berkeley? Ekonomi dalam fitrahnya yang paling purba adalah jejaring keberpihakan. Sebuah kondisi terpenuhinya kebutuhan manusia secara kolektif. Belajar pada manusia purba, tepatnya. Di sini semangat subsistensi ekonomi terpelihara dengan baik. Pertumbuhan dikatakan tercapai bilamana kebutuhan kawasan ekonomi terpenuhi secara seimbang. Tidak seperti saat ini, kemakmuran diukur bilamana terserapnya manusia sebagai mesin dan diperlakukan sebagai alat. Marx, minsalnya, mengatakan inilah era dimana manusia menjadi komoditas. Dan pasar bebas menjadi altar bagi para aktor, yang disebut Nietzsche sebagai lalat-lalat beracun di pasar. Jadi tak selamanya kebencian rezim pasar bebas terhadap proteksionisme ekonomi, sebagaimana yang dilakukan Amerika Latin, beralasan dan cantik. Di pastikan ekonomi Indonesia belum saatnya mengimani pasar bebas sebagai pilihan ekonomi transendental. Ekonomi domestik sunguh masih perlu perlindungan dari racun-racun yang ditebarkan pasar persaingan sempurna.[]

Yogyakarta/13/12/09

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOGENSI SEKULERISME

Buku Terbaru

TEOLOGI PLURALISME AHMAD WAHIB