Presiden Pilihan dan Beban Berat Minoritas Kritis

Oleh: Muhammad Sholihin

Sapere aude! Beranilah menggunakan nalarmu sendiri!—itulah motto pencerahan.
--Jurgen Habermas--

Pilpres telah berakhir di ujung plakat kemenangan SBY-Boediono. Slogan “lanjutkan!”, bergema menembus jagad nusantara. Seulas senyum; tepuk tangan bertalu-talu menyeruak dari ratusan pasang tangan-tangan pendukung SBY-Boediono. Kini Indonesia rebah dan tak mengeliat lagi, ada SBY-Boediono yang bakal menjadi pemimpin rumah tangga bangsa ini. Kemaren (07/07) seekor lalat menghampiri SBY, mengaung-ngaung seolah menghantarkan kabar kemenangan padanya, persis sama dengan lalat yang menghampiri Barrack Obama tempo hari. Tapi dengan makna yang berbeda.

Barrack Obama menang bersama dengan prosesi transformasi politik AS; dari model politik “smear and fear” ala G.W. Bush menjadi “inclusive and transforming” politik. Indonesia di bawah SBY, dengan slogan “lanjutkan!”, lebih terasa sebagai sebuah kemenangan di bawah stagnant modeling. Tidak terjadi transformasi politik. Namun siapa sangka, ternyata rakyat tenang tak mengeliat pada pesona model yang ditawarkan oleh SBY-Boediono. Ada beberapa faktor yang menunjang kemenangan SBY-Boediono ini.

Karakter charming-nya SBY menjadi pesona khas yang merajut hati rakyat, terutama di kalangan ibu-ibu. Di perkuat dengan hembusan detransformasi kebijakan; sebuah model pengembangan negara secara linier yang tidak menawarkan perubahan ideologis, orientasi; hingga membuat rakyat terpikat dan rebah dalam pangkuan SBY-Boediono. Kemenangan SBY-Boediono ini menjadi ayat atas karakter rakyat Indonesia yang masih sangat konservatif, tidak berani meloncat, mudah terjerat dengan pesona citralitas.

Demikian, rakyat tidak salah, malah rakyat telah berusaha menentukan pilihan, walau baru memulai, seumpama balita yang baru belajar mengkonsumsi nasi dan sedang peralihan. Rakyat belum utuh menganut “sepere aude!”. Sehingga kemenangan SBY-Boediono ini masih jauh dari pilihan berdasarkan “sepere aude!” minded, tak ayal lagi kemenangan itu mengandung faktor-faktor kompleks dan paradoks.

Kemenangan SBY-Boediono ini paradoks, karena pilihan terhadapnya didasarkan pada pencitraan, sentrifugal yang sengaja dibangun di atas ketokohan SBY. Model politik SBY-Boediono membuat rakyat tergagap dan kemudian memilihnya. Faktor kompleks kemenangan SBY-Boediono ini mengandung serpihan-serpihan human error, mulai dari DPT bermasalah, de-edukasi politik yang tersebar di Papua, membuat kemenangan SBY-Boediono masih kurang ideal jika diukur dengan parameter struktur politik demokrasi di negara maju.

Take Home Minoritas Kritis

Kemenangan SBY-Boediono adalah beban berat bagi minoritas kritis. Dan inilah tantangan terberat jika presiden adalah incumbent, di mana track record yang dibangunnya sekadar faktor alamiah constraint semata. Belum dibangun berdasarkan pilihan kebijakan strategis “exspanding and defense”; sebuah kebijakan politik, ekonomi, hukum yang dirumuskan untuk menaungi perubahan struktural sekaligus memilah perubahan tersebut berdasarkan prinsip “good and wealth” atau “maslahah”. Jelas SBY-Boediono akan melanjutkan kebijakan yang telah ia rumuskan bersama JK lima tahun sebelumnya. Dan ke depan, kombinasi antara SBY-Boediono ini tengah ditunggu gebrakannya untuk perekonomian bangsa.

Tahun-tahun setelah ini adalah medan pengujian dan pembuktian, apakah SBY-Boediono betul-betul terpesona dengan dalil-dalil ekonomi-politik liberalitarian atau tidak sama sekali. Jika terbukti, maka jadilah lima tahun ke depan sebagai jalan pengasingan dan keterlemparan SBY dari hati rakyat, seperti halnya Soeharto yang terlempar dari memori rakyat atas kearifan politik-ekonomi yang terpenggal ketika Soeharto memerintah.
Kemenangan SBY-Boediono, setidaknya membuat kelompok minoritas kritis lebih mawas lagi menjadi garda depan mengawal demokrasi dan kebijakan negara. Karena pada kelompok inilah, sesungguh transformasi demokrasi politik digayutkan. Tidak hanya pada kelompok oposisi. Kenyataannya, setengah abad lebih bangsa Indonesia berjalan, membangun sendi-sendi dan taman-taman demokrasi, tapi masih menyisakan kesenjangan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemenangan SBY-Boediono kali ini dikategorikan sebagai hadiah dari rakyat dan anugerah dari Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Anas Ubaningrum (08/07), sungguh mengandung seikat pemaknaan. Sah jika rakyat memang memilih SBY-Boediono, karena harapan atau mungkin terpesona oleh karakter SBY serta terjanjikan dengan detransformasi kebijakan yang ditawarkan oleh SBY-Boediono.

Perjalanan bangsa Indonesia lima tahun mendatang lebih berat lagi. Sebab kecenderungan ideologis ekonomi tentu tak beranjak jauh. Model pengembangan demokrasi masih setengah tiang dan terus berproses di bawah politik kejawen SBY-Boediono. Dalam kondisi ini kelompok minoritas kritis tak berpeluang jengah dan diam tak berkutik. Karena transformasi demokrasi, transformasi ekonomi masih mengawan dalam gengaman SBY-Boediono, dengan parameter politik detransformasi kebijakan yang ditawarkannya.

Tugas pertama minoritas kritis setelah SBY-Boediono merajut kemenangannya, ialah apakah SBY-Boediono berani se-berani menjatuhkan pilihan kepada Boediono pilihan yang tidak populer ketika menentukan formasi-formasi kabinet mendatang. Tentunya kabinet-kabinet yang dipilih berdasarkan potensi dan skill bukan berdasarkan “sell and order” politik.

Kemenangan SBY-Boediono kali ini mengguratkan kembali kegundahan Albert Einstein dulu ketika Jerman bergejolak “Sepanjang aku bisa memilih, aku hanya tinggal di negara di mana kebebasan politik, toleransi, dan kesetaraan semua warga negara di hadapan politik; belum lazim.” Semoga saja makna kemenangan SBY-Boediono kali ini tak menyisakan kutukan, tapi melahirkan harapan yang mesti ditunaikan oleh SBY-Boediono.[]

Muhammad Sholihin, Penulis Pustaka Fahima

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”