MODAL, PASAR DAN REVOLUSI PENDIDIKAN


Oleh: Muhammad Sholihin

“the struggle for liberty..is the struggle for equality”
(Isiah Berlin, in two concept of liberty)

Disahkannya undang-undang BHP (Badan Hukum Pendididikan) menyentakkan para mahasiswa; khawatir, gamang, putus asa, geram tergurat jelas di mimik wajah mereka. Berduyun-duyun para mahasiswa melakukan demonstrasi agar jangan sampai undang-undang BHP disahkan. Di bawah terik matahari, ditengah hujanan pentungan polisi lalu dibubarkan dengan paksa—menjadi makanan “mereka”. Hanya satu harapan penderitaan demonstrasi ini agaknya “jangan sahkan undang-undang BHP”. Dalam minda para mahasiswa disahkannya undang-undang BHP sama maknanya dengan memprivatisasi dunia pendidikan. Kegamangan ini setidaknya menjadi spirit bagi mahasiswa untuk turun ke jalan, dan mencoba melawan kelupaan negara.
Kata banyak pakar pendidikan, “BHP adalah keniscayaan untuk meningkatan kualitas pendidikan di Indonesia”, hingga asumsi ini menjadi pijakan bagi negara untuk melegalkan undang-undang BHP, benarkah demikian? Sesungguhnya jika “kita” jujur pada kenyataan undang-undang BHP adalah isyarat betapa negara kian dikalahkan oleh kapitalisme, lewat kekuatan modalnya. Sebab, salah satu adat dari kapitalisme ialah menyingkirkan negara, dan meminimalisir intervensi negara, agar semua aspek kehidupan bernegara mampu dimasuki dengan aman tanpa halangan oleh kekuatan modal. Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam pendidikan “kita” hari ini.
Arus deras modal tidak dapat dihalangi untuk merecoki setiap sisi kehidupan di Indonesia saat ini. Banyak sisi kehidupan, dan nilai-nilai hidup yang digeser tatkala berkecambahnya modal dalam kehidupan manusia, hingga siklus kehidupan hanya diarahkan pada “utilities oriented”. Kehidupan politik, ekonomi, hingga dunia pendidikan pun sedang diserap oleh kekuatan modal. Cengkraman kekuatan modal dalam denyut pendidikan merupakan sebuah ironi bagi bangsa yang berdiri di atas susunan kelas-kelas sosial yang beragam, seperti Indonesia. Dalam lingkaran kekuatan modal, core gerak dan tujuan bertumpu pada hasrat kekayaan. Dalam kondisi ini, dunia pendidikan akan ringkih seiring bertukarnya energi pendidikan dari pemberdayaan, menjadi lahan subur education capitalism. Jean Fraçois Lyotard dalam konteks ini mengemukan dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, bahwa adalah hasrat kekayaan, bukan hasrat pengetahuan, yang mendorong kebutuhan peningkatan kemampuan teknologi dan realisasi produknya. Nyaris dapat dipastikan ketika modal merambah dunia apapun, maka logika yang dianut selalu berkutat pada “modal yang minimal, dengan keuntungan yang maksimal”. Apa jadinya, ketika dunia pendidikan diasumsikan sama dengan industri kovensional?
Kilas balik; sejarah pendidikan di Indonesia pada zaman orde baru selalu dan tidak beranjak dari jalin berlidannya pendidikan dengan kekuasaan. Yasraf A. Piliang mengistilahkan perkelidanan ini dengan pendidikan yang dijadikan sarana untuk mencari, merebut, atau mempertahankan kekuasaan. Pendidikan tinggi menjadi sebuah alat kekuasaan. Kini, setelah reformasi dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi—berkembang dan mencari jalin perkelidanan yang lebih kompleks. Tidak hanya dengan kekuasaan, kekuatan modal pun menjadi saling berkelidan dengan kuat dalam dunia pendidikan.

Dalam Arus Revolusi Paradigma
Secara normatif trend pendidikan hari ini telah mengalami pergeseran yang hebat. Pendidikan bergeser dari ruang pemberdayaan, transformasi nilai—menjadi ruang bagi investansi human capital plus investasi ekonomi secara sistemik. Tidak heran lonjakan biaya pendidikan tidak lagi mampu ditanggulangi oleh negara. Di ujung yang lain, dulu logika dunia pendidikan bertumpu pada hukum humanisme, kini logika dalam dunia pendidikan lebih eksrem dan bahkan cenderung meminggirkan manusia; soalnya, logika pendidikan hari ini terkooptasi oleh logika “demand and supply”. Tidak heran ada keengan masyarakat untuk melanjut pendidikan ke peguruan tinggi—di samping biaya tidak terjangkau, sikap apatis terhadap perguruan tinggi memuncak karena memang hari ini perguruan tinggi tidak lagi mampu melahirkan generasi yang sesuai dengan fitrah dari perguruan tinggi itu sendiri.
Dalam kontrol kekuatan modal, pendidikan selalu dituntun berdasarkan kehendak pasar. Akibatnya, yang mampu dilahirkan dari perguruan tinggi ialah tenaga kerja organik. Mereka dikonstruksi dan dibentuk atas dasar kehendak pasar. Tidak lebih. Padahal fitrah dunia pendidikan tinggi, sesungguhnya sebuah arena wacana, yang di dalamnya sikap ilmiah, objektivitas, sikap kritis, kebebasan berpikir, dan pikiran bebas. Fitrah ini bergeser, berserak tatkala pendidikan tinggi dikontrol oleh kekuatan modal. Dalam kondisi ini, perguruan tinggi tidak lebih dari sebuah manufacture yang dijalankan berdasarakan logika produksi.
Dunia pendidikan “kita” tengah berada pada fase revolusi paradigmatik yang dahsyat. Revolusi ini bergerak dari fitrah pendidikan menuju kapitalisasi pendidikan. Seketika landasan normatif akan berubah. Tujuan pendidikan akan dikarangkeng dalam logika “utilities”. Dalam kullah ini, pendidikan tinggi hanya mampu melahirkan manusia-manusia seragam dan menjadi bahan baku industri. Harkat perlahan dicabut, makna hidup kian gersang karena dipenjara dalam kebudayaan “konsumerisme”. Kesuksesan pendidikan diukur degan trend keterserapan pekerja oleh industri kapitalistik. Pendidikan tinggi tengah melakukan loncatan; dari kebudayaan intelektualism oriented menjadi kebudayaan economic oriented. Sistem ini menciptakan generasi mekanik, patuh, loyal, berbudaya sesuai dengan kebutuhan pasar—nilai-nilai kebebasan rontok, kemerdekaan memilih dicabut—secara sistemik mereka diserap oleh magnitud pasar.
Mendalami ini, pendidikan tinggi menurut Hans Magnus Enzensberger di dalam Dreamers of Absolute; merupakan sebuah industri pikiran yang dilengkapi oleh mesin-mesin pikiran, yang memproduksi pikiran-pikiran seragam, yang menciptakan tingkah laku seragam. Segala sesuatu diseragamkan, mulai dari pakaian, nama, kurikulum, metode, buku ajar, bahkan tingkah laku. Yang terbentuk adalah sebuah mesin besar keseragaman (great uniform mechine)—sebuah totalitas keseragaman masyarakat yang tidak memberi tempat bagi perbedaan, keunikan, dan pluralisme. Tesis Hans Magnus Enzensberger, ternyata bertapak dalam realitas. Bahkan kini, fitrah pendidikan kian menjauh dari amanat Undang-undang 1945, yang intinya semua orang tanpa memandang kelas mesti mendapatkan pendidikan yang layak. Namun ketika, dunia pendidikan tinggi melalui pengesahan BHP berarti menyerahkan diri pada keterperangkapan sistemik ala penjara ekonomi. Ini menyiratkan betapa pendidikan tinggi menjadi bagian dari sebuah sistem komersial dan ekonomi, yang menjadikan pendidikan tidak lebih dari sebuah komoditi yang diperjual belikan. Akibatnya, aspek pendidikan secara perlahan bukan lagi merupakan “kewajiban” negara terhadap rakyatnya. Kewajiban ini secara perlahan diserahkan pada kekuatan modal, dalam hal ini tentunya swasta.▪

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOGENSI SEKULERISME

Buku Terbaru

TEOLOGI PLURALISME AHMAD WAHIB