TUBUH PEREMPUAN DAN LOCUS POLITIK


Oleh: Muhammad Sholihin
Bagi perempuan adalah hal yang amat mengejutkan saat mengetahui bahwa kekuasaan phallus amat mengancam kemampuan yang telah mereka kembangkan.
(Anthony Giddens: 1992)—Transformation Of Intimacy.

Disahkannya undang-undang pornografi bagi kebanyakan umat merupakan langkah maju. Tapi juga tidak sedikit yang menilai undang-undang pornografhi sebagai jalan turun (turning point). Apapun respon publik, kini undang-undang pornografhi telah sah dan menjadi kekuatan hukum yang mengikat bagi semua orang, walaupun masih ada satu tahap lagi yaitu tahap sosialisasi. Kehadiran undang-undang pornografi tidak sedikitnya telah melahirkan polemik pelik dalam masyarakat. Ini mesti diakui.

Mengkaji “kenapa undang-undang pornografi ini dirancang dan disahkan oleh negara”—merupakan hal penting dilakukan. Dalam beberapa dekade ini, penyimpangan seksual dikaitkan erat dengan ransangan dari perempuan, entah melalui video, visual, maupun audio. Hingga tubuh perempuan pun diposisikan sebagai “iblis” yang mesti diikat secara ketat agar ia tidak merusak tatanan yang ada. Benarkah demikian? Kenyataannya, pornografi selalu dikaitkan dengan ransangan seksual yang dilakukan oleh perempuan atau pun laki-laki dengan memperlihatkan “aurat” kepada publik. Hingga tubuh perempuan secara keseluruhan diistimewakan. Karena itu, ia perlu diselubungi, dikomodifikasi, diharamkan, bahkan dikutuk.

Tubuh perempuan berabad-abad menjadi misteri bahkan menyisakan paradoks dalam kehidupan. Sesungguhnya bukan tubuh perempuan yang menjadi istimewa. Tapi persepsi sosial lah yang menjadikan tubuh perempuan sebagai hal istimewa. Hingga Ia dipuja, sekaligus dikutuk. Dipuja karena kaum estetik mengangap tubuh perempuan adalah inspirasi seni tertinggi. Diujung yang lain, Ia dikutuk karena tubuh perempuan yang tidak dikontrol dengan baik—seketika akan menyisakan puing-puing petaka—demoralisasi, eksploitasi seksual—menjadi potret suram dari tubuh perempuan yang tak terkontrol. Demikianlah, persepsi yang dibangun terhadap aurat perempuan ditengah masyarakat.

Jika ditelusuri; dalam masyarakat nusantara persoalan pornografhi telah ada tatkala peradaban nusantara ini muncul. Bahkan sesuatu yang dikategorikan pornografi hari ini—merupakan hal yang biasa dan menjadi seni dan karsa manusia terdahulu. Sederhananya, Ia telah menjadi khazanah budaya yang tinggi, khazanah budaya yang dipuji dan dikagumi. Faktanya, banyak orang yang terkagum dengan relief-relief alat vital manusia yang ada di Borobudur atau pun cerita tentang sex dan seksualitas dalam serat centhini atau dalam bentuk kesenian, tari warok, gemblakan, reog ponorogo yang dalam prakteknya melibatkan eroto-romantika antara anak laki-laki dan laki-laki dewasa dengan hubungan heteroseks dalam pernikahan dan pencitraan heteroseks non-nikah. Semua ini jika jujur diakui tidaklah menimbulkan “hasrat” seksual. Tapi malah yang lahir tatkala menyaksikan produk budaya ini, ialah rasa kagum yang bermuara pada iklusifisme dan hormonisasi. Hingga tak ada yang merasa tereksploitasi, karena memang khazanah ini lahir dari perkelidan tulus jauh dari sentuhan paradigma pasar.

Thesis yang ingin dibangun dari uraian ini ialah dalam masyarakat kita dewasa ini telah terjadi transformasi makna “seksualitas”. Hingga segala sesuatu yang mempertontonkan, terutama “aurat”--dihadapan publik dikategorikan sebagai pornografi dan mesti ditindak. Sederhananya, telah terjadi pergeseran pendekatan dalam memaknai seksualitas—dari pendekatan kultural menjadi pendekatan pure struktural. Maka tak heran jika saat ini, semua hal yang berkaitan dengan ekspresi “seksualitas” telah menjadi locus politik.

Aurat, Komoditas Dan Locus Politik

Mengutip Anthony Giddens (1992) dalam “transformation of intimacy “ bahwa setiap jenis kelamin merupakan benua yang gelap bagi jenis kelamin lainnya. Hal ini bermakna, ada selubung misteri yang tak mampu diungkap tentang cita rasa seksual didalam diri manusia. Ketika cita rasa ini tidak mampu menjadi eroto-private. Maka ia akan menjadi eroto-kolektif yang merusak. Dari titik inilah sesungguhnya transformasi makna “aurat” berlansung. Alhasil, seksualitas trend menjadi komoditas dan dinikmati dengan persepsi pasar.

Meminjam pandangan David C. Korten (1999) bahwa masalah ancaman kehancuran lingkungan dan sosial semakin besar disebabkan oleh ekses-ekses dalam sebuah sistem ekonomi yang buta terhadap kebutuhan manusia sebagai titik tolaknya. Pandangan Korten ini mengisyaratkan bahwa kini lintasan paradigma manusia dalam memahami kehidupan lebih terpengaruhi oleh paradigma pasar. Hingga segala sesuatu trend dijadikan sebagai komoditas, termasuk manusia itu sendiri. Hingga persoalan “estetika aurat” dewasa ini tidak lagi sebuah ekspresi estetika. Tapi telah melampaui alam estetika itu sendiri. Alhasil, estetika aurat tidak lagi bermakna dan kosong dari nilai-nilai seni—karena ia telah ditimpali oleh “hasrat” transaksional demi industri kapitalisme. Dalam kondisi inilah, aurat perempuan kini dikutuk. Hingga perlu dijinakkan oleh negara melalui aturan dan jeruji hukum.

Ada makna lain, setelah undang-undang pornograhi disahkan. Tanpa disadari kini perempuan kembali menjadi kambing hitam dari demoralisasi dan penyimpangan seksual yang terjadi dalam masyarakat. Sederhananya, aurat perempuan telah menjadi locus politik. Ia telah menjadi tempat dimana ideologi dikontestasikan, ekonomi dipromosikan, dan moralitas mengoperasionalkan obsesinya. Tidak berlebihan jika Feminis Mira Dyarsi menambahkan, UU Pornografi memandang tubuh perempuan sebagai sesuatu yang ditakuti.
Jamak diketahui bahwa undang-undang pornografi berpijak pada diktum moral spasial. Dalam ranah inilah sesungguhnya konflik paradigma terjadi kala merespon UU Pornografi. Benturan pandangan memuncak. Pandangan kultural berhadapan dengan pandangan struktural. Walaupun akhirnya pandangan struktural berjaya atas pandangan kultural—ya!berkat “kekuasaan negara”. Kini UU Pornografi telah menjadi bagian hukum di negara ini. Tapi apakah UU Pornografi mampu memangkas logika komoditas “aurat” yang telah begitu sistemik dalam struktur ekonomi dunia dewasa ini? Aurat atau tubuh perempuan selama ini hanya korban defenisi dari media elektronik, film dan industri hiburan lainnya. Hingga tubuh perempuan terjerembab dalam politik pencitraan tubuh yang tak humanis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”