PENDULUM KEBANGKITAN KULTURAL MINANGKABAU
Oleh: Muhammad Sholihin
Ada satu ungkapan adat Minangkabau yang mungkin dapat dijadikan tanda dan sekaligus peringatan, bahwa pada suatu masa akan terjadi, adaik lah tingga di papatah, kaji lah tingga dalam kitab. Ungkapan yang jarang diucapkan ini, saya kira sangat relevan untuk mengungkapkan berbagai fenomena sosial di Minangkabau, terutama dalam menjelaskan sumber-sumber kebangkrutan budaya seperti yang kita alami sekarang ini (Edi Utama). Apa yang digelisahkan oleh seorang budayawan, Edi Utama ini agak telah menjadi sebuah kenyataan yang amat empirik, bahkan saat ini menjadi sebuah kecenderungan yang kerap dilakukan oleh orang Minang.
Di Minangkabau kini, ada gap yang amat jauh, dan tampaknya sulit untuk disatukan. Ungkapan ini bukan bernada pesimistik, namun hanya sebuah kegelisahan yang timbul dari banyak orang ketika melihat adanya gap antara norma yang sering didendangkan dalam mamangan Minang dengan realitas yang terjadi. Dalam kulah inilah sebenarnya ABS-SBK tidak lagi menjadi identitas kultural bagi manusia Minangkabau hari ini.
Kini ada kekuatan yang berhembus dari luar dan memaksa perubahan struktur-kultural Minangkabau—massifikasi globalisasi—telah membuat tepian berubah di Minangkabau hari ini. Memang semestinya orang Minang tidak gentar untuk menyonsong perubahan dan seharus tidak ada kegamangan yang mendera siapa pun dari etnis Minang. Namun ironis, keberanian malah bersipat naif, keberanian untuk menyonsong perubahan zaman tidak diperkuat dengan karakter budaya yang kokoh. Hingga kelihatannya, ‘kita’ amat rapuh dalam budaya modern yang serba asing dalam kubangan nilai-nilai materialistik.
Zaman boleh saja berubah, tapi realitas jangan sampai tercerabut dari akarnya. Kalimat ini senada dengan mamangan Minangkabau bahwa “sakali aia gadang, sakali tapian barubah”. Agaknya, ini menjadi karakter dari masyarakat Minangkabau, bahwa orang Minangkabau adalah manusia yang dinamis terhadap perubahan. Hingga ‘kita’ semestinya menemui proses pergulatan dengan corak pertentangan dan perimbangan yang selalu dilakukan oleh orang Minang terhadap sesuatu yang baru. Dan siklus dari pertentangan dan perimbangan ini akan mendorong terjadi ‘sintesis’ kultural, seperti halnya persenyawaan ABS-SBK. Realitasnya kini berbalik, tidak ada lagi proses pertentangan dan perimbangan yang dilakukan orang Minang, yang ada adalah tunduk dan pasrah menerima perubahan, lalu larut dengan nilai-nilai baru yang dihembuskan dari luar. Justru ini, apa yang dikatakan Oleh Bung Edi Utama dengan kebangkrutan budaya amat tampak sebagai sebuah fenomena sosial di Minangkabau hari ini.
Kegelisahan terhadap perubahan nilai yang melanda orang Minangkabau akhirnya memuncak. Hingga pemerintah pun dibuat gelisah oleh perubahan nilai yang melanda Minangkabau hari ini. Justru itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat ingin agaknya merumuskan sebuah kompilasi nilai-nilai kultural yang diproduksi dari kerangka filosofis ABS-SBK.
Merajut Komitmen Kebangkitan
Melangkahi kegelisahan, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat meng-SK kan tim perumus kompilasi ABS-SBK (Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah) sebagai sebuah jawaban atas kegelisahan yang terjadi melanda perubahan dan pergeseran nilai masyarakat Minangkabau hari ini. Tim perumus ini ‘tampak’ sebagai representasi dari masyarakat Minangkabau dari berbagai golongan, baik dari kalangan budayawan, ulama, cendikiawan, kalangan adat, akademisi, dan praktisi hukum—hadir dan melakukan dialektika dalam rangka mencari satu pandangan akan esensi dari ABS-SBK. Latar belakang yang beragam ini, menunjukkan bahwa ABS-SBK adalah identitas kultural yang bagi semua manusia Minangkabau yang lahir dari proses pergulatan. Dari moment inilah agaknya akan dilahirkan sebuah komitmen terhadap kebangkitan nilai-nilai kultural Minangkabau yang selama ini hanya sekedar mamangan yang tak bertapak, sebagai buah kata pepatah-petitih yang tak menyentuh realitas, dan semuanya tidak mampu menjadi ekspresi dalam siklus kehidupan ‘kita’.
Dalam proses perumusan kompilasi ini, tidak jarang terjadi ‘debat’ yang mendalam--ini tampak sebagai sebuah keharusan dalam rangka melahirkan sesuatu yang dikatakan amat monumental bagi siklus kehidupan Minangkabau ke depan. Perdebatan terjadi dalam locus paradigma, akankah kompilasi ini menjadi sebuah produk politik atau malah akan berujung pada komitmen kultural? Ini akan terjawab oleh waktu, namun yang perlu digaris bawahi ABS-SBK bukanlah sebuah proses yang terhenti, tapi ia terus mengalir sesuai dengan intensi pergulatan terhadap nilai-nilai kultural dari dua lubuk Adat dan Islam. Secara faktual, ‘kini’ Adat dan Islam telah bersenyawa dan membentuk gugusan nilai universal yang telah dituangkan dalam bentuk mamangan dalam tradisi orang Minang. Namun, proses pergulatan berupa pemahaman, dan penghayatan akan esensi dari ABS-SBK tidak semestinya dihentikan oleh produk politik melalui kompilasi Perda ABS-SBK. Inilah yang mestinya diwaspadai, karena proses pemapanan ABS-SBK melalui kompilasi hukum, sebenarnya akan mendorong terhentinya proses dinamika kultural yang semesti harus terus berlanjut. Dan sesuai dengan historis ABS-SBK yang merupakan sebuah konsepsi politik merespon ‘break of paradigm’ yang berkukuh antara Adat dan Islam, tentunya pergulatan harus tetap terjadi dalam rangka mendorong imanensi nilai cultural ABS-SBK sebagai sebuah benang merah bagi tindakan manusia Minangkabau. Sementara itu uniknya, dalam proses yang panjang telah terjadi persenyawaan antara Adat dan Islam. Hingga ABS-SBK telah mendorong terjadinya penyatuan yang tidak bisa dipisahkan antara nilai-nilai Adat dan Islam, serta silklusnya membentuk gugusan nilai-nilai yang universal, dan semestinya menjadi sebuah ‘patronase’ bagi struktur sosial dan struktur kultural Minangkabau.
Jika kini spirit Minangkabau tidak lagi mampu menembus, dan masuk jauh ke dalam dinamika kebangsaan, sebagaimana spirit yang dihembuskan oleh M Natsir, Bung Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir dalam mempengaruhi garis pemikiran politik bangsa Indonesia pada awal-awal pendirian bangsa ini. Maka tentunya, ada harapan pendulum nilai-nilai kultural bergerak mendorong kebangkitan Minangkabau sebagai bagian dari kebangkitan bangsa. Harapan ini penting dibangun, karena naif-nya, gerakan politik bangsa hari ini tidak lagi berpijak pada entitas kultural, tapi hanya berkubang dalam entitas yang sama sekali politis dan pragmatis. Justru itu, tak salah jika Edi Utama menenggarai krisis multi dimensi bangsa ini dapat dilampaui dengan strategi kultural. Karena pada kenyataan krisis bangsa ini bukanlah krisis struktural, tapi adalah krisis kultural yang mendorong terjadinya krisis struktural.
Public Discourse: Ruang Dialektika Bagi Kompilasi ABS-SBK
Jika F. Budi Hardiman meyakini proses politik akan diuji melalui proses ‘wacana publik’. Sejauh mana sebuah keputusan politik mampu direspon oleh khalayak, hingga keputusan politik akan dianggap kuat jika Ia mampu hadir dalam ruang public menjadi sebuah wacana, siklusnya menjadi sebuah ideology yang diproduksi terus menerus. Maka tentunya, kompilasi nilai-nilai kultural ABS-SBK yang sejatinya diproduksi melalui proses politik harus menjadi sebuah wacana yang senantiasa diperdebatkan. Karena itu, jangan harap kompilasi ini lansung diterima oleh khalayak jika tidak direspon sebagai sebuah produk yang mestinya diperdebatkan dalam ruang public. Walhasil, kompilasi ini akan sempurna secara alamiah ketika masyarakat mampu menjadikannya sebagai ‘wacana publik’ yang terus-menerus diperdebatkan. Hingga dengan sendirinya akan mencapai titik impas dan disanalah sebuah kebenaran sebuah produk sejarah akan menjadi sebuah ideology yang tampak sebagai ekspresi masyarakat.
Sebetulnya, di dalam ruang public inilah-- manusia-manusia privat terlibat secara intens di dalam perdebatan rasional kritis. Dengan ini, Kant yakin ‘kespakatan publik’ baru bisa dimulai dari proses perdebatan rasional yang kritis ini. Dengan demikian tidak salah, jika kompilasi dari nilai-nilai Kultural ABS-SBK diuji dalam ruang public melalui perdebatan yang melelahkan. Hingga kompilasi ini mestinya terbuka untuk dikritisi dan dikoreksi secara rasional kritis. Karena ‘kita’ sadar bahwa kemandekkan otak Minangkabau hari ini adalah proses perdebatan kritis rasional terhenti akibat uniformasi politik oleh dinasti Orde Baru. Hingga setidaknya ‘kita’ menaruh harapan pada kompilasi nilai-nilai Kultural ABS-SBK ini menjadi titik awal pergulatan kritis sebagai sebuah proses mendorong kebangkitan Kultural Minangkabau.
Penulis Adalah Sekretaris Eksekutif Nagari Institute-Padang
dan bergiat juga pada Magistra Indonesia
Komentar