HIERATAGE KITA DALAM PASUNGAN JIRAN


HIERATAGE KITA DALAM PASUNGAN JIRAN

Oleh : Muhammad Sholihin

Pecaplokan wilayah, klaim atas hieratage nusantara oleh negara jiran Malaysia, kekerasan atas tenaga kerja Indonesia di Malaysia, jelaslah sebagai rentetan peristiwa yang tidak alamiah. Tapi ini, berkelidan dengan fakta-fakta sosial yang tidak mudah dipahami secara parsial. Kenapa arogansi Malaysia kembali mengeruyak, ketika bangsa ini diredung krisis toleransi, dan sublimasi identitas?

Ketika browsing di internet, dengan mengunakan search engine Google dan mengetikan key word “pencaplokan oleh Malaysia”. Maka keluarlah web-web yang mendedahkan prestasi-prestasi Malaysia dalam pencaplokan atau klaim atas hieratage Indonesia. Sebuah realitas yang sedang aktual untuk dibicarakan, kenapa Malaysia akhir-akhir ini dengan begitu mudah mengklaim hieratage nusantara sebagai kekayaan intelektual Malaysia?.

Memang proses klaim Malaysia atas sebagian hieratage nusantara mempunyai landasan tersendiri. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia Datuk Seri Dr Rais Yatim "Indonesia tak punya hak mengklaim kepemilikan wayang kulit karena dia dibawa oleh penguasa Hindu Sri Wijaya di abad ketujuh dan kesenian itu menyebar di Langkasuka (Kedah), Palembang, Batavia dan Temasik," tapi ada hal yang dilupakan oleh sang Menteri Malaysia ini--etika kebudayaan tepatnnya, tak ada satupun negara yang berhak mengklaim sebuah entitas tradisi dari sebuah negara yang telah jamak dilakukan sebagai sebuah ritual dan seni yang integral dengan kehidupan berbangsa dan bernegara atau telah menjadi sebuah identitas budaya, seperti halnya reog, rendang, batik, dan angklung.

Nusantara dengan kekayaan hieratagenya memiliki potensi ekonomi. Dengan kekayaan hieratage ini, Indonesia pada dasarnya mampu menngungulkan aspek pariwisata sebagai basis pendapatan negara—dari sinilah idealnya devisa dihasilkan. Pantaslah Indonesia mendapat julukan ‘zamrud khatulistiwa’, kekayaan alam, kekayaan tradisi membuat Indonesia sebagai representasi dari keajaiban ciptaan Tuhan. Tapi dibalik ini semua, Indonesia menjadi incaran dunia dalam merauk profit yang lebih besar. Pantas Malaysia ‘ngiler’ dengan kekayaan intelektual bangsa Indonesia. Hingga Malaysia secara lansung melakukan klaim atas berbagai kekayaan tradisi Indonesia, mulai dari rendang, lagu ‘rasa sayang e’, sampai dengan tarian reog Ponorogo. Inilah realitas dari bangsa yang sedang mapan.

Malaysia sebagai sebuah negara, memang mempunyai akar budaya yang mirip dengan Indonesia. Hingga dengan kemiripan ini, hampir tidak ada celah untuk memisahkan entitas melayu Malaysia dengan Indonesia. Hingga tak jarang kedengaran Malaysia-Indonesia populer sebagai negara serumpun yang memiliki berbagai kesamaan, baik tradisi maupun kemiripan bahasa. Lantas dengan kemiripan inikah Malaysia mendapat celah untuk mengklaim berbagai tradisi Indonesia?. Seperti reog minsalnya memang di Malaysia Barongan memang dimainkan dan menjadi sebuah kesenian yang tak asing lagi bagi masyarakat Malaysia. Tapi sebenarnya reog tidak hanya sebagai seni yang dimainkan, reog mempuyai seulas filosofi dan metode khusus yang tidak mudah dimainkan oleh manusia biasa. Dalam reog terdapat kombinasi seni dan mistis. Dan secara praksis, mungkinkah Malaysia memahami kombinasi ini?.

Tak tangung-tangung, batik dan rendang telah dipatenkan oleh Malaysia sebagai kekayaan hieratage mereka. Ini membuktikan, betapa Malaysia menghargai hasil apreasiasi budaya, tapi sayang karena Malaysia adalah negara yang monoton. Hingga terpancing untuk mempatenkan hieratage Indonesia. Sebuah kenyataan yang membuat komponen bangsa ‘tertegun’ dan tidak mampu berkata apa, hanya sebatas mengatakan “Malaysia kok tega-teganya?”, sebagai bangsa serumpun Malaysia seharus menunjukan etika budaya dalam pergaulan antara negara, bukan malah menciptakan ketegangan kecil.

Indonesia memang negara miskin. Hingga sibuk memikirkan bagaimana ‘kemiskinan’ dapat ditangulangi serta terlalu sibuk mengekspor ‘tenaga kerja’ sebagai TKI. Walhasil, Indonesia lupa mengurusi hal-hal yang dianggap kecil, seperti hak paten hieratagenya. Dan baru kebakaran jenggot ketika telah dipatenkan oleh bangsa lain, sebuah ‘lag reaction’ yang diperlihatkan oleh pemerintah.

Lag reaction dalam mempatenkan kekayaan intelektual, seperti hieratage Nusantara diakibatkan dari kurangnya penghargaan terhadap tradisi, dan kesenian anak bangsa. Hingga kesenian seperti reog, lagu ‘rasa sayang e’ terdengar tidak lagi populer ditelingga anak bangsa. Sebuah ironi yang menimbulkan sengketa yang kompleks.

Negara Serumpun Bukan Harus Berbagi

Sikap arogansi yang diperlihat Malaysia akhir-akhir ini menyentil nasionalisme anak bangsa. Sebab tak ada satu anak bangsa di negeri ini yang rela kekayaan negarinya diklaim sebagai milik negara lain. Persis pada zaman penjajahan yang mengklaim bahkan mengeksploitasi kekayaan Nusantara, hasilnya tidak ada satupun manusia yang mendiami kepulauan nusantara berdiam diri tanpa melakukan perlawanan. Betul Malaysia adalah negara jiran yang serumpun dengan Indonesia, tapi bukan berarti Malaysia berhak membagi-bagi jatah tradisi Indonesia.

Tradisi nusantara apapun bentuknya tidak hanya sebagai sebuah permaianan seni yang lahir begitu saja. Tapi setiap bentuk tradisi Di Nusantara ini memiliki seikat filososfi, seperti halnya, Rendang bagi masyarakat Minang rendang adalah masakan khas yang miliki filosofi. Bagi orang Minangkabau rendang merupakan ikon dalam masakan Minang yang ditemukan hampir dalam menu semua perhelatan dan menjadi Kapalo jamba (Menu utama). Rendang adalah representasi dari watak budaya minang yang dinamis, sebab rendang dibentuk dengan proses metamorfosa yang senada dengan kalimat ‘sakali aia gadang, sakali tapian berubah’ (sekali air besar, maka tepian akan berubah). Apakah Malaysia paham dengan filosofi ini?. Begitu juga dengan reog, batik, bahkan Angklung.

Malaysia adalah potret bangsa yang frustasi melihat kekayaan alam, budaya Indonesia. Tak ayal kefrustasian Malaysia ini berujung pada ‘take over’ tindakan atau pun kata-kata. Lewat klaim yang ‘aneh’, Malaysia malah berjingkrak di atas kekayaan Indonesia. Tapi bagaimana pun jahatnya Malaysia, tindakannya memberikan efek sindrom yang positif bagi manusia Indonesia. Manusia Indonesia dibuat terbangun dari tidur yang panjang, lantas bergegas mencoba menyelamatkan sisa-sisa kebudayaan yang terserak yang selama ini tidak diperhatikan dengan hati.

Sadar Dan Mengemasi Hieratage Yang Terserak

Kiranya ‘Nasionalisme’ bangsa ini masih ada, walaupun sedikit premature. Dengan nasionalisme premature inilah anak bangsa masih tetap setia menjaga warisan-warisan budayanya. Memang ironis ketika tradisi Indonesia diklaim sebagai entitas budaya dari Malaysia, tapi malah dengan kondisi ini komponen bangsa Indonesia sadar betapa pentingnya penghargaan terhadap hieratage nusantara. jika Indonesia tidak ingin melihat hieratagenya menjadi ikon pariwisata dari negara-negara jiran, seperti Malaysia. Maka sudah saatnya hieratage ‘kita’ diidentifikasi dan dipatenkan.

Seni, dan tradisi mengucur deras dari rahim budaya manusia. Ia tumbuh, berkembang dan berakar seiring dengan kehidupan manusia sebagai mahluk sosial. Dalam prakteknya manusia selalu melakukan seni sebagai indentitas kebudayaan tanpa melihat dan membutuhkan royalti, seperti halnya di Minangkabau para pekerja randai tidak berorientasi mencari profit dalam mengapresiasikan randai sebagai bagian dari indentitas budaya. Begitu juga dengan para pekerja seni tradisional lainnya, lumrah mengekspresikan seni dan hieratagenya sebagai bagian dari promodialisme budaya, tak ada istilah profit bagi pekerja seni ini. Tapi lainnya halnya dengan Malaysia, lewat proses klaim atas hieratage Indonesia kemudian mempatenkan sebagai entitas dari kebudayaan Malaysia. Jelaslah, tendensinya adalah menjadikan hieratage sebagai ‘base capital’ untuk kapitalisasi kebudayaan. Faktanya, Malaysia mempatenkan dalam rangka industri pariwisata.

Beranjak dari carut marut antara Indonesia-Malaysia, pantaslah ‘kita’ berbenah diri dan menjadikan hieratage Indonesia sebagai ikon dan bangkit memberikan ‘reward’ terhadap eksistensi hieratage Indonesia. Pemerintah dengan kekuatan subsidi, hukum lalu mempatenkan hieratage Indonesia. Sementara itu, anak bangsa mencoba membangun ‘sense of culture’ dan mengarahkan pada sikap mencintai dan mengapresiasi hieratage Indonesia. Ini bertujuan, agar tidak ada lagi negara yang semena-mena mengklaim kekeyaan hieratage Indonesia.

Penulis adalah associate researcher Iqra Institute

dan alumni Ponpes MTI Candung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOGENSI SEKULERISME

Buku Terbaru

TEOLOGI PLURALISME AHMAD WAHIB