GLOBALISASI MINUS PEMBERDAYAAN

GLOBALISASI MINUS PEMBERDAYAAN

Oleh: Muhammad Sholihin

Adalah Joseph E. Stiglitz peraih nobel ekonomi tahun 2001 dengan lantang meneriakan borok-borok globalisasi. Stiglitz bertutur “Walaupun orang lain menderita akibat salah urus globalisasi dan walaupun dalam jangka panjang salah urus ini akan berdampak mahal bagi AS sendiri—terutama saat semua masalah pemerintahan Clinton melipatganda dan membesar oleh pemerintahan Bush—dalam jangka pendek Amerika Serikat diuntungkan. Sekali lagi terbukti bahwa apa yang baik bagi Amerika tidak selalu baik bagi dunia. Lebih dari itu, apa yang jelek bagi dunia mungkin justru tidak jelek bagi Amerika.

Paradoks ekonomi tidak serta merta lahir dari proses alamiah, sebagaimana mitos-mitos ilmiah yang didogengkan dalam teori ekonomi. Sebagai manusia yang hidup dalam alam modernisasi ekonomi dan selalu melek melihat efek-efek paradoks yang ditimbulkan oleh salah urus ekonomi—telah membuat manusia-manusia menjadi apatis terhadap mitologi ekonomi yang tidak memberikan apa-apa bagi masyarakat di tingkat grass root. Secanggih apa pun model-model yang diciptakan dalam ekonomi, kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, bahkan market failure selalu menyeruak dalam fenomena ekonomi dunia. Ketika teori-teori ekonomi yang cangih tidak lagi mampu menjawab kegelisahan global, maka yang muncul adalah sikap curiga yang maha hebat terhadap institusi ekonomi, baik bank, pemerintah, bahkan korporat-korporat yang ada dalam negara berkembang.

Sebenarnya kunci dari paradoks-paradoks ini terletak pada konspirasi profit yang dijalankan oleh mafia-mafia di negara-negara adikuasa. Kita memang pantas curiga kepada negara adikuasa, kerena memang hari ini negara ketiga sedang dikondisikan dalam kondisi kejiwaan yang senantiasa mencurigai negara pertama. Faktanya, gerakan-gerakan sempalan yang wujud di negara berkembang selalu dominan mempreteli kebijakan Amerika satu per satu. Hingga hampir tidak ada ruang untuk mempercayai kebijakan negara pertama ini.

Ada hantu yang paling ditakuti oleh negara ketiga, seperti Indonesia, hantu globalisasi tepatnya. Bagaimanapun ekonom menyakinkan bahwa globalisasi itu baik untuk negara berkembang—dengan perangkat distribusi pendapatan tanpa hambatan— namun sayang, globalisasi belum mampu mengeleminir ketidak percayaan masyarakat miskin terhadap diri-Nya, karena memang faktanya ‘globalisasi’ adalah ladang bagi para kreator bisnis dunia.

Globalisasi adalah produk dari sejarah kemenangan kapitalisme global atas rezim komunisme. Walaupun ‘sejarah belum berakhir’ kata Fukuyama, tapi kapitalisme telah sukses menciptakan kanal profit secara monoistik dan bermuara pada kantong-kantong segelintir kelompok. Dengan hebatnya globalisasi menciptakan konspirasi-konspirasi internasional dalam bentuk ‘merger’. Ada penyimpangan dari teori ‘merger’, pada tataran teoritis ‘merger’ dilakukan ketika modal perusahaan menyusut dan tidak mempunyai ‘power of fighting’ dalam pure market competition. Tapi iradah globalisasi berkata lain, ‘merger’ dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai basis modal yang kuat dan ultimat ‘merger’ berfungsi sebagai strategi memasuki pasar global dan menguasai pangsa pasar secara massif. Inilah ironi yang diciptakan oleh salah kiprah dari globalisasi.

Globalisasi dengan ‘software’ pasar bebas serta mantra “laissez faire, leissez passer” telah menjamah dunia dan menyusupi manusia dengan ajaran-ajaran yang bersipat kontra-idealisme. Tapi inilah sejarah kapitalisme global, tidak ada satu manusia pun yang luput dari sentuhan globalisasi, terutama pelaku-pelaku bisnis. Dalam ajaran globalisasi ‘negara’ harus mencuci tangan dengan berbuat baik pada korporat-korporat, kalau tidak, maka pemimpinan ‘negara’ yang bersangkutan akan dirontokkan dari singgasananya dengan metode yang tidak bisa diduga-duga, namun inilah kenyataanya—velocity of game—adalah bentuk permainan yang paling digemari oleh para pemuja globalisasi, seperti para kreator MNC. ‘Kecepatan permainan’ inilah makna dari ‘velocity of game’ dan melalui pendekatan lobi tingkat international yang dilakukan antar negara-negara adikuasa, pemimpin negara yang membangkang atas kepentingan MNC dan TNC seketika akan rontok akibat tangan-tangan tak terjamah dan wujud dalam bentukan butir-butir perjanjian dengan IMF atau ‘simulasi realitas’ dalam ujaran Yasraf Amir Piliang.

Radhar Panca Dahana, dengan cerdas dan aktraktif menjelaskan betapa Soeharto menderita akibat tamparan IMF, konspirasi IMF dibalik resesi ekonomi 1997-1998 menghantarkan Soeharto ke pinggir kekuasaan. Soeharto dengan sisa-sisa kekuatan mencoba melakukan negosiasi dengan negara adikuasa. Dengan mengutus BJ Habibie untuk melakukan negosiasi dengan Perancis atas butir-butir perjanjian IMF yang merugikan ‘bangsa’ secara periodik. Tapi apa daya BJ Habibie pun ditolak. Walhasil, resesi ekonomi di Indonesia menjadi-jadi dan anti klimaksnya—mahasiswa yang sedang marah—memaksa Soeharto lengser dari jabatannya. Peristiwa ini membuktikan, ternyata gerakan sempalan akan berhasil ketika didukung oleh kekuatan konspirasi globalisasi. Tanpa konsfirasi ini, Soeharto tetap akan menjadi presiden yang tak terontokkan.

Dalam maksim globalisasi—siapa pun boleh memangsa apa pun—tak terkecuali ‘negara pun’ menjadi mangsa dari globalisasi. Negara dipaksa meninggalkan software, seperti regulasi, subsidi. Tak sampai disitu dengan permainan atas pasar dunia negara-negara ketiga, seperti Indonesia, dikondisikan untuk melakukan impor atas produk-produk luar negeri. Makanya penganguran akan menjadi fenomena ‘sirkuler’ yang tidak mudah untuk diputus. Walaupun terkesan pesimis, inilah kenyataan yang tidak terduga-duga dari dentuman globalisasi.

Globalisasi memang positif bagi iklim perusahaan, tapi ada hal lain yang dikorbankan oleh globalisasi. Dengan akumulasi profit, globalisasi telah menciptakan gap sosial yang panjang dalam kelas-kelas masyarakat. Dunia, memang belum berakhir dalam cengkraman globalisasi, namun ‘social capital’ kian langka dalam pergumulan manusia-manusia modern. Dalam rangkaian kerja globalisasi tidak ada kata pemberdayaan yang ada adalah bagaimana melakukan ‘simulasi’ seolah-olah mirip pemberdayaan. Dengan menciptakan multiplier efek, perusahan-perusahan pemuja globalisasi mencoba melakukan ‘pemberdayaan semu’ atas masyarakat. Argumen ini terkesan sedikit provokatif, namun metode globalisasi menghabisi ‘kesempatan’ masyarakat bawah untuk menikmati subsidi bahkan regulasi amat terasa. Siklus dari ini, kebijakan ledakan impor adalah bukti keberhasilan globalisasi menghabisi ‘spesialisasi’ yang idealnya menjadi ikon ekonomi sebuah negara.

Globalisasi dan Doping Ekonomi Kelas

Ujaran-ujaran Marx yang berkisah tentang berakhirnya kapitalisme memang tidak terbukti. Tapi rasa sintementil Marx terhadap kapitalisme, jamak dapat dirasakan pada era modern. Ini tampak pada ketimpangan distribusi pendapatan di negara-negara berkembang yang mencoba menerapkan anjuran-anjuran IMF. Walhasil, di negara berkembang globalisasi dengan mulus menancapkan kukunya.

Hardware globalisasi, seperti, pasar bebas—memang masih jauh penerapannya, tapi suasana pasar bebas malah telah terasa kian permanen di tengah-tengah masyarakat saat ini. Dengan masuknya korporat-korporat ke negara berkembang, membuat unit usaha kecil dan perekonomian subsisten di masyarakat negara berkembang kian terpinggirkan. Inilah awal dari kedigdayaan globalisasi.

Globalisasi sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang menyuplai doping untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat kelas (kapitalis). Dan masyarakat yang berada dipinggir akan menjadi base capital atau merupakan resourches bagi akumulasi profit. Dalam amatan Marx, globalisasi melahirkan super struktur yaitu kelompok cheobol, kemudian kelompok ini melakukan eksploitasi terhadap base struktur yaitu masyarakat awam. Tapi dalam perkembanganya, konsepsi Marx tentang kapitalisme kurang memadai—globalisasi—tumbuh berkembang lebih kompleks. Dalam konteks ekonomi modern, globalisasi tidak hanya menyuplai doping, seperti, pasar bebas, non-intervensionisme—bagi perekonomian kelas. Lebih dari itu, ternyata keberhasilan globalisasi terletak pada konspirasi ditingkat MNC dalam skala international. Hingga teori Marx tentang ‘determinisme ekonomi’ menuai momentum dalam kasus ini, bagaimana konspirasi ekonomi internasional melahirkan ekonomi kelas kapitalis serta konspirasi internasional dengan mudah mengutak-atik struktur politik di negara berkembang. Inilah potret dari sejarah perkembangan globalisasi minus pemberdayaan terhadap masyarakat menegah ke bawah

Penulis adalah Researcher Magistra Indonesia dan jaringan PSIK-Paramadina untuk demokrasi dan islam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”