URBANISASI: MUTASI GEJALA EKONOMI KE BUDAYA

URBANISASI: MUTASI GEJALA EKONOMI KE BUDAYA

Oleh: Muhammad Sholihin

Lebaran telah menciptakan keajaiban temporal, lihatlah Sirkulasi uang meningkat seiring sublimasi keshalehan atau pun didorong oleh proses pendefenisian diri lewat “konsumsi” yang lebih massif. Tapi lebaran juga telah memberikan harapan bagi para pengangur, dalam hal ini para perantau telah berperan aktif dalam menciptakan ‘harapan’ itu. Walhasil, Urbanisasi bergerak lurus dengan lebaran, kini urbanisasi tidak saja menjadi fenomena ekonomi an sich, tapi telah menjadi gejala budaya.

Urbanisasi sebagai terma yang menunjukan berpindahnya penduduk dari desa ke kota dan urbanisasi sebagai gejala yang sering kali muncul ketika lebaran menjelang telah menjadi sebuah ritualitas tahunan yang menerjang bangsa ini. Jika dikaji lebih seksama problema urbanisasi yang melanda kota besar di indonesia, seperti Jakarta, merupakan gejala urbanisasi yang menyimpang dari problema urbanisasi yang terjadi di negara lain.

Dalam ilmu ekonomi faktor yang menyebabkan “urbanisasi” terjadi pada gholibnya di dorong oleh tarikan-industri. Urbanisasi ini terjadi disebabkan oleh tingginya permintaan pekerjaan untuk sektor industri di perkotaan. Hingga para penduduk yang berada di pedesaan serta merta meninggalkan desa dan pindah ke kota dengan harapan dapat bekerja di sektor industri yang menawarkan upah yang lebih baik ketimbang berkerja di sektor pertanian.

Di Indonesia “urbanisasi” terjadi bukan disebabkan oleh tarikan-industri, tapi lebih dominan didorong oleh faktor struktural, seperti faktor ketimpangan sosial, atau sebagai gejala budaya (premature urbanisasi). Dalam hal ini Ahmad Erani Yustika mengemukakan “urbanisasi sekarang ini dapat dianggap sebagai kekuatan yang terus-menerus memperburuk masalah pengangguran di perkotaan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan struktural dan ekonomi antar daerah pedesaan dan perkotaan”.

Urbanisasi terus mengeruyak dalam karut marut sebuah bangsa yang sedang sakit. Ditengah permasalahan penganguran di perkotaan, urbanisasi tiap tahunannya memperburuk kualitas pengganguran di perkotaan. Hingga kuantitas masyarakat miskin perkotaan akan terus tumbuh seiring menganganya ketimpangan ekonomi antara kota dan pedesaan.

Ketimpangan struktural yang terjadi antara kota dan pedesaan, telah menyebabkan sektor pertanian di pedesaan mandul dan tidak mampu memberikan obat penawar bagi krisis ekonomi yang melanda penduduk desa. Lahan pertanian tidak lagi mampu memproduksi hasil tani yang berkualitas disebabkan pupuk yang semangkin langka. Menurunnya produktifitas pertanian di pedesaan diperparah dengan ketimpangan struktural yang terjadi pada sektor pertanian, kemalasan pemerintah memberikan ‘insentif’ pada sektor pertanian, dan dominasi orientasi pembangunan ke arah industrialisasi, atau pun diskriminasi pinjaman lunak yang mestinya dipermudah untuk petani, memperkaya faktor-faktor yang menyebabkan urbanisasi.

Pengangguran yang kian bertambah diperkotaan telah membuat rona kemiskinan diperkotaan bertambah akut. Pengangur yang datang ke perkotaan pada awal datang dengan skill yang minim dan akhirnya menyerah pada persaingan yang membutuhkan skill yang lebih untuk menjadi tenaga kerja di sektor industri.

Urbanisasi yang tejadi di Indonesia di dorong oleh pemaknaan industrialisasi yang cenderung diterjemahkan sebagai pergeseran dinamika kehidupan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder melalui implementasi strategi pembangunan ortodoks, tidak dapat dihindari fenomena urbanisasi menyeruak dengan tingkat yang cukup tinggi di Indonesia (Erani, 2003: 85). Salah kaprah jika industrialisasi diterjemahkan sebagai perubahan struktur ekonomi, dan ini hanya akan memperparah inkonsistensi pembangunan ekonomi di Indonesia. Makna ekonomi kerakyatan akan kian kabur jika industrialisasi hanya mampu diterjemahkan sebagai perubahan struktur ekonomi an sich.

Setelah genderang otonomi daerah ditabuh, berbagai mimpi pun bermunculan, penggelolaan anggaran daerah lebih longgar atau pun kebijakan yang menyangkut ‘investasi’ di daerah lebih otonom, semua ini telah menjadi mimpi yang didedahkan oleh otonomi daerah. Namun ironis ditengah sublimasi gerakan otonomi daerah ini, otonomi daerah malah tidak mampu membuat masyarakat di daerah untuk tetap mencangkul di sawah atau pun berkebun.

Lebaran, budaya dan Urbanisasi

Lebaran sebagai ritualitas tahunan yang jamak dialami oleh masyarakat di Indonesia telah mendatangkan keajaiban-keajaiban temporal, pertukaran uang yang melebihi hari-hari biasa, atau pun keshalehan yang ditandai oleh ritualitas pemberian zakat, infaq atau pun sedekah memperkaya gejala sosio-kultural pada lebaran ini, namun di samping itu lebaran juga telah menimbulkan mimpi-mimpi baru bagi para pengangur, lewat berkaca diri pada para perantau maka ‘urbanisasi pun’ akan menjadi gejala yang menyertai lebaran.

Dalam masyarakat Minangkabau lebaran ditandai dengan pulangnya perantau ke kampung halaman, setelah tahunan mengadu nasib di rantau oarang ‘perantau’ pun pulang ke kampung halaman dengan upaya pendefenisian diri yang maksimal. Walhasil, semangkin maksimal proses pendefenisian diri, maka semangkin dihargai para perantau tersebut.

Pendefenisian diri yang dilakukan oleh perantau tidak saja mempunyai implikasi terhadap sosio-kutural, tapi juga secara aktif berimplikasi pada ekonomi. Dan urbanisasi adalah implikasi nyata dari fenomena perantau. Proses pendefenisian diri yang maksimal bagi perantau ditandai dengan titel “orang sukses”, siklusnya akan menarik banyak orang untuk mengimitasikan diri seperti perantau yang sukses tersebut, hal ini lumrah karena budaya imitasi masih subur dalam watak bangsa Indonesia. Imitasi diri biasanya diekspresikan melalui perpindahan yang massif dari desa ke kota, hingga dalam metamorfosis ini “urbanisasi” tidak saja didorong oleh ketimpangan struktur ekonomi, tapi juga didorong oleh budaya.

Dari tesis yang dikemukan oleh Mohamad Sobary “Islam, tradisi merantau, dan usaha dagang, merupakan tiga unsur pembentuk keutuhan identitas minangkabau. Tanpa Islam, Minangkabau bukan lagi Minangkabau. Meskipun begitu, seandainya Islam masih tetap melekat sebagai bagian dari identitas ke-minang-an mereka, tapi tradisi merantau dihilangkan, Minangkabau dengan ke-Islam-an semata masih juga bukan Minangkabau seutuhnya. Dan masih juga bukan Minangkabau yang ada, bila ke-Islam-an dan tradisi merantau tetap melekat, namun usaha dagang dipisahkan dari kaitan erat dengan dirinya.” Tesis Sobary ini merupakan gejala tradisi yang ada dalam masyarakat Minangkabau. Jika diamati tradisi merantau yang telah menjadi darah daging bagi masyarakat Minangkabau adalah hal positif yang mendorong terjadinya ‘urbanisasi’, tapi urbanisasi yang terjadi karena tradisi biasa diperkuat dengan adanya ‘client’ antara perantau yang mapan dengan perantau yang baru. Dalam hal ini, urbanisasi bagi masyarakat Minangkabau adalah keniscayaan budaya.

Untaian kalimat “lebaran, budaya dan urbanisasi” terasa kian tepat, ketika gejala urbanisasi yang terjadi di Indonesia kian massif ketika lebaran, dan mendapatkan justifikasi dari tradisi budaya merantau yang ada di masyarakat Minangkabau. Tapi akankah ‘urbanisasi’ yang disebabkan oleh tarikan budaya berimplikasi positif bagi perekonomian? Jika urbanisasi dibarengi oleh pemberdayaan yang dilakukan oleh perantau yang mapan terhadap perantau baru, maka ‘urbanisasi’ tarikan-budaya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian■

Penulis adalah Kabid PA-HMI Komisariat Syari’ah IAIN “IB”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”