NAGARI VS GLOBALISASI
NAGARI VS GLOBALISASI
Oleh: Muhammad Sholihin
Nagari sebagai identitas struktural-formal di Minangkabau, waktu demi waktu, seiring kompleksitas perubahan zaman dihadapkan pada kaidah perubahan alamiah, hingga pada siklus hidupnya, nagari telah menjadi institusi yang kehilangan identitas asli—distorsi zaman, distorsi politik bahkan distorsi ekonomi memamah nagari dan menyeret nagari ke dalam perubahan-perubahan yang mencengangkan.
Perjalanan waktu telah membuat gesture kehidupan berubah, dengan dinamika sejarah, perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dielakkan. Distorsi ekonomi, politik maupun distorsi sejarah ikut memamah kehidupan manusia. Walhasil, tidak ada yang kekal dalam struktur kehidupan manusia. Identitas budaya dalam suatu masyarakat sering kali berubah akibat berhadapan dengan struktur yang datang dari luar. Begitu juga dengan struktur formal yang ada dalam masyarakat Minang, perubahan-perubahan nilai dalam bernagari didorong oleh dominasi struktural, baik berupa politik mau pun ekonomi.
Nagari adalah produk dari sejarah. Maka perubahan-perubahan pun hampir tidak pernah luput dari pertumbuhan nagari, ini membuat nagari dari masa ke masa semangkin jauh berlari meninggalkan identitas aslinya. Hal ini berkaca dari perubahan bentuk “demokrasi” yang membentuk bangunan nagari, pada awalnya demokrasi dalam pembentukan struktur-formalnya lebih bersipat representatif, namun akhirnya terpecah-pecah dalam puing pencarian formasi struktural-formil dan kini bermuara pada demokrasi liberal dan cenderung memaknai proses demokrasi sebagai “vox populi, vox dai” (suara rakyat, suara tuhan).
Dahulu nagari merupakan satuan wilayah terkecil di Minangkabau, nagari di Minangkabau mempunyai luas wilayah yang bervariasi, ada yang mempunyai luas wilayah sebesar kelurahan seperti Nagari Koto Gadang, dan ada yang mempunyai wilayah seluas kabupaten seperti Nagari Batipuah yang areanya mencakup hampir 50% wilayah Kabupaten Tanah Datar. Dengan variasi teritorial ini, berarti nagari tidak tergantung pada teritorial, tapi nagari pada dasarnya dibangun atas basis kultural. Hingga dalam kondisi ini, nagari merupakan wilayah yang mengikat masyarakatnya berdasarkan kultural, bukan berdasarkan birokrasi-struktural. Tapi kini, nagari larut dalam ikatan wilayah administratif yang berdasarkan teritorial dan akhirnya birokrasi-struktural menjadi penentu hubungan antara satu nagari dengan nagari lain. Kasus ini hanya merupakan pecahan-pecahan kecil dari perubahan-perubahan yang mendera nagari.
Perubahan bagi masyarakat Minangkabau adalah alamiah dan ini mengakibatkan perubahan terhadap struktur budaya mau pun struktur nagari di Minang menjadi hal mesti. Kiranya asumsi ini didukung oleh filosofi Minang “sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepian berubah)”. Dalam aras ini, perubahan-perubahan pada gesture nagari menjadi signifikan untuk diamati, kenapa perubahan ini terjadi?apakah perubahan ini betul-betul didorong oleh tarikan budaya atau akibat dominasi politik?. Jamak diketahui, bahwa sejarah adalah miliki para penguasa, begitu juga halnya realitas yang menyertai sejarah, ia dibentuk dengan seikat dominasi dan pada akhirnya realitas pun terdistorsi sejauh dominasi itu mengagahi realitas.
Nagari VS Globalisasi
Nagari memiliki jejaring unik dan memiliki kompleksitas kultural yang berasal dari kearifan lokal yang terus mengalir dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, tapi nilai-nilai yang mengalir dari perkembangan nagari selalu saja bercampur dan tumpang tindih nilai-nilai yang datang kemudian, tak jarang nagari terdistorsi dan akhirnya berubah jadi nagari yang lain. Pada perkembangannya, nagari mengalami perubahan nilai asli, nagari saat ini memiliki gugusan nilai yang relatif berbeda dengan nagari sebelumnya.
Dahulu nagari diikat oleh nilai-nilai kultural, hingga realitas nagari akan selalu menganut nilai-nilai budaya, sebutlah prosedur pembentukan pemerintahan nagari yang diikat oleh tata budaya lokal Minang. Dalam hal ini, wali nagari merupakan hasil dari dialektika yang dilakukan oleh suku yang ada dalam nagari, hingga wali nagari memiliki otoritas lebih dari sekeder otoritas yang dimiliki oleh pemerintahan. Jika ditelisik lebih dalam, dengan pendelegasian oleh suku, pemilihan wali nagari diserahkan sepenuhnya pada pemerintahan adat yang dipilih oleh penghulu atau pun ninik mamak, dengan model ini wali nagari lebih merasa dirinya sebagai representasi dari suku, sebaliknya kontrol terhadap wali nagari akan lebih besar bersumber dari suku yang mendelegasikanya. Dengan ini, wali nagari yang terpilih tidak saja bertanggung jawab secara administrasi-struktural, tapi juga mempuyai tanggung jawab administrasi kultural kepada pemerintahan adat.
Nagari dengan demikian berubah sesuai dengan dominasi politik yang mengitarinya. Dahulu nagari dipimpin secara kolektif oleh kepala suku, dengan sendirinya nagari dalam bentuk ini merupakan federasi dari suku. Nagari mengalami pasang surut dalam sejarah dan sering berhadap-hadapan dengan kekuatan yang datang dari luar. Nagari pernah berhadapan dengan dengan sistem sentralistik Kerajaan Pagaruyung (1300-1450M) yang diimpor dari Jawa (Majapahit). Pernah pula menyesuaikan dengan sistem yang dianut Kerajaan Aceh Darussalam (1600-an) terutama saat wilayah Konfederasi Minangkabau di pinggir Samudera Hindia jatuh kebawah pengaruh kerajaan tersebut. Kemudian di periode 1800-1850 beberapa nagari dan federasi nagari di luhak (wilayah) Agam dan Lima puluh kota jatuh ke sistem pemerintahan Paderi yang militeristik yang diimpor dari tanah Arab. Dimasa ini nagari mengenal angkatan bersenjata. Setelah Paderi kalah oleh Belanda, nagari pun berhadapan dengan sistem pemerintahan kolonial.
Pada masa pemerintahan orde baru nagari malah, dikooptasi secara sentralistik dan dirubah menjadi koloni-koloni kecil berbentuk desa. Dengan ini, nagari merupakan pemerintahan struktural terendah di bawah pemerintah kecamatan. Ulah Jenderal Soeharto, Nagari menjadi ajang politik uniformisasi. Ini dilakukan oleh Sang Jenderal dalam rangka menjadikan kekuatan-kekuatan yang terpecah di bawah negara bisa dikontrol dengan efisien. Namun malang melintang, Soeharto tumbang oleh badai reformasi dan aroma kebebasan pun membuat rakyat terjaga dari tidur panjang yang terbendung dalam buaian dominasi orde baru. Dan selang beberapa tahun setelah reformasi gerakan “kembali ke nagari” kembali mendapatkan momentumnya.
Tapi kali ini nagari dihadapkan kepada kekuatan yang lebih hebat, yaitu globalisasi. Kompleksitas keunikan nagari yang terdiri dari model ultra-demokrasi yang menjalankan pemerintahan secara kolektif yang berbentuk federasi suku, bentuk ini berarti pemerintahan nagari lahir dari basis kultural. Kolektifisme tidak saja ada dalam bentuk pemerintahan serba ultra-demokrasi, namun juga tampak pada keberadaan tanah ulayat yang tidak tersentuh oleh proses privatisasi. Dengan bentuk kolektifisme ini, Nagari pernah membingungkan Belanda untuk menguasai pertanahan di Minangkabau, berbeda dengan sistem Demang di Jawa, di nagari tidak mengenal adanya sistem demang, kondisi inilah yang membuat Belanda kebingungan. Tapi, kini dengan gerakan kembali ke Nagari, kolektifisme ini mulai tercerabut dan perlahan-lahan tergantikan oleh paradigma struktur-formil, dan pada akhirnya tidak ada lagi tanah ulayat yang tidak akan tersentuh proses investasi dan sebagai ladang “profit” bagi pemuja proyek neo-liberalisme. Allahu A’lamu Bi-Shawab■
Komentar