KONFLIK TANAH DAN LOGIKA KEKERASAN

KONFLIK TANAH DAN LOGIKA KEKERASAN

Oleh:

Muhammad Sholihin

(Pembina Komunitas GIE Tarbiyah Islamiyah)

"Jalan Raya Dilebarkan Kami Terusir, Mendirikan Kampung Di Gusur, Kami Pindah-Pindah Menempel Di Tembok-Tembok Dicabut Dan Dibuang"

(Wiji Thukul)

Konflik Tanah dan kekerasan massa dalam sejarah bangsa Indonesia adalah Fenomena tua yang sering membayangi realitas kehidupan berbangsa. Konflik Tanah sering berawal dari sengketa kepemilikan antara Satu kelompok dengan kelompok lain, namun Konflik Tanah menjadi menarik ketika yang terlibat dalam konflik itu adalah kekuasaan dan berhadapan dengan rakyat.

Konflik Tanah ini sering terjadi antara petani dengan Negara ataupun antara petani dengan pihak swasta. Pada era pemerintah Soeharto konflik tanah dominant terjadi antara pemerintah dan mempergunakan meliter sebagai kekuatan opresi terhadap petani dan tidak jarang juga pihak swasta mengunakan pendekatan kekuasaan untuk proses klaim terhadap tanah yang disengketakan, pada kondisi ini pihak swasta sering melakukan perkelidanan dengan kekuasaan, baik dengan meliter maupun pengadilan. Ketika kondisi ini menjadi realitas dalam konflik pertanahan, maka bahasa kekerasan sering dijadikan alat komunikasi baik oleh rakyat dan terutama oleh kekuasaan.

Ketika konflik tanah terjadi antara Negara dan rakyat, maka dalam prakteknya rakyat akan selalu tersubordinasi dalam mengapai keadilan hukum, lebih tajam dideskripsikan oleh Wiji Thukul lewat kidung-nya "Jalan Raya Dilebarkan Kami Terusir, Mendirikan Kampung Di Gusur, Kami Pindah-Pindah Menempel Di Tembok-Tembok Dicabut Dan Dibuang", gambaran Wiji Thukul ini menjadi sebuah pemahaman betapa rakyat akan selalu termarginalkan dalam konflik pertanahan, walaupun konteks dari kidung ini ditujukan pada pemerintahan Soeharto, namun makna dan pesan dari kidung ini akan selalu relevan untuk dimaknai dan dijadikan sebagai nilai-nilai keadilan dalam menyelesaikan konflik pertanahan.

Setelah Era Orde Baru rontok oleh gelombang Reformasi, Supremasi Hukum menjadi harapan baru bagi rakyat serta depresi akan pemerintahan meliteristik mulai menurun drastis. Logika Kekerasan yang sering digunakan oleh penguasa Orde Baru sebagai komunikasi politik mulai redup dalam memori rakyat. Ini berhasil dikristalisasikan dalam detak kehidupan berbangsa, berkat adanya kesadaran bahwa "civil society" merupakan nilai-nilai yang mampu meminimalisir pemerintahan meliteristik.

Beberapa hari ini terakhir bangsa Indonesia kembali di ingatkan oleh tragedy penembakan oleh TNI terhadap warga desa Alas Tlogo, Pasuruan yang berpangkal dari Konflik Tanah, peristiwa ini kembali mengingatkan kita akan logika kekerasan dalam penyelesaian konflik tanah yang sering dioperasionalkan pada masa Orde Baru.

Melacak Logika Kekerasan Dalam Konflik Pertanahan

Antonio Gramsci dalam memahami interaksi Negara dan rakyat telah melahirkan sebuah teori yang disebut dengan "kekuasaan hegemonik" yang dimaknai sebagai kekuasaan dari satu kelompok masyarakat yan diterima atau dianggap sah oleh kelompok-kelompok masyarakat lainya. Jika dielaborasi teori "kekuasaan hegemonik" Antonio Gramsci ini untuk memahami kasus konflik pertanahan, maka akan nyata bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu kelompok yang bersengketa merupakan proses hegemoni terhadap kelompok lawan sengketanya.

Konflik Tanah antara Negara (kekuasaan) dengan Rakyat sangat rentan mendorong terjadinya kekerasan massa, kekerasan ini telah menjadi bahasa komunikasi bahkan telah menjadi ekspresi dari aspirasi komponen yang bersengketa. Bagi Negara kekerasan yang dilakukan melalui tangan meliter adalah sebuah pendekatan hegemonik terhadap lawan-Nya (Petani). Bagi petani kekerasan adalah sebuah ekspressi terhadap hak ekonomi dan kehidupan keluarga dan komunitas petani yang bersangkutan. Freud memahami Kekerasan yang dilakukan oleh Negara (meliter) maupun petani, timbul dari hasrat manusiawi aktor-aktor yang terlibat konflik, Sebab "Hasrat untuk merusak (insting kematian) sama kuatnya dengan hasrat untuk mencintai".

Konflik Pertanahan dan sering bermuara pada kekerasan massa, secara teoritis dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang menyimpang (Devians), karena memang berseberangan dengan nilai-nilai universalisme tentang kemanusian. Namun disisi lain Erich Fromm melihat "perilaku agresif manusia yang diwujudkan dalam peperangan, kejahatan, perkelahian dan segala perilaku destruktif dan sadistis ditimbulkan oleh insting bawaan yang telah terprogram secara filogenetik (asal-usul gen). Insting ini berupaya mencari penyaluran dan selalu menunggu kesempatan yang tepat untuk melampiaskannya". Dalam paradigma ini kekerasan yang terjadi dalam konflik pertanahan pada dasarnya alami, maka ketika terjadi benturan kepentingan dan konflik--kran pelampiasan amarah yang didorong oleh perilaku agresif pada diri masing-masing aktor yang terlibat konflik mendapat momentum-nya.

Kekerasan adalah sebuah bahasa yang diekspressikan dan sekaligus sebagai simbol yang mewakili kepentingan aktor-aktor yang terlibat konflik. Berdasarkan mashab darwinisme kekerasan digerakan secara alamiah dari insting manusia untuk mempertahankan diri dari ancaman lawan atau disebut dengan "Survival Of The Fites". Begitu juga dengan petani yang melakukan kekerasan dengan mengangkat senjata terhadap meliter, ini merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan hidup dan perekonomian-nya. Begitu juga dengan pihak meliter pada kasus konflik tanah di desa Alas Tlogo melakukan penembakan berdasarkan hasrat untuk mempertahankan hak yang dimaknai dari justifikasi hukum.

Pertanyaan yang muncul setelah mengelar landasan teoritik tentang kekerasan yang terjadi pada kasus konflik tanah antara meliter dan petani ialah " apakah sudah tepat logika kekerasan yang dipakai oleh meliter dalam kasus penembakan petani ini?. Kalau bertitik tolak dari norma umum yang berlaku bahwa "peran yang harus dilakukan oleh TNI adalah melindungi dan memberikan rasa aman bagi rakyat", secara nyata logika kekerasan yang dilakukan oleh TNI adalah sebuah penyimpangan dari norma umum.

Dan berpangkal dari landasan filosofi UUD 1945 maupun Pancasila, semua siklus kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus bermuara pada rakyat (People Centris), segala sesuatu (tanah, air) yang telah determinat terhadapnya kebutuhan kolektif masyarakat, maka semua masyarakat berhak mengunakannya berdasarkan prinsip keadilan sosial. Dalam konteks inilah logika kekerasan yang dipakai oleh meliter dalam mengklaim tanah desa Alas Tlogo tidak tepat dan Menyimpang■

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOGENSI SEKULERISME

Buku Terbaru

TEOLOGI PLURALISME AHMAD WAHIB