terma puasa dan bangsa
RAMADHAN: ANTARA BERKAH DAN NESTAPA
Oleh: Muhammad Sholihin
Gema zikir dan lantunan Qur’an menyeruak di ruang publik, sebagai manifestasi bahwa Ramadhan melarutkan manusia dalam kesyahduan ibadah. Namun di sisi lain, kegelisahan amat nyata di raut wajah ibu-ibu, faktanya harga sembako mulai merangkak naik dan proses hegemoni pun berselencar di bulan Ramadhan. Soalnya, pelarangan oleh pemerintah berjualan di siang hari membatu di dalam bulan Ramadhan. Walhasil, Ramadhan kini hadir dalam bentuk wajah ganda yang paradoks.
Ramadhan datang, maka ritualitas pun di mulai. Seruan untuk beribadah, saling mengisi dengan perbuatan yang menyejukan, dan saling memberi dengan sesama, selalu mewarnai Ramadahan. Terma-terma filantrophi yang ada dalam Islam mendapatkan persemaian dalam lahan subur yang disediakan oleh bulan Ramadhan. Lain lagi dengan persepsi da’i-da’i yang memenuhi ruang mesjid atau pun langgar-langgar mushalla bahwa berkah Ramadhan teletak pada “Maqfirah atau pun pahala yang berlipat ganda”. Ruang-ruang publik pada bulan Ramadhan dipenuhi dengan terma-terma diskusi tentang keberkahan bulan Ramadhan. Tidak bisa dipungkiri, Ramadhan tidak akan memberikan berkah tanpa ada jihad terhadap pikiran-pikiran jahat yang selama ini telah mempenjara bangsa ini—korupsi, maling, atau pun nepotisme telah memenuhi jagat budaya bangsa Indonesia dan mungkin Ramadhan adalah satu di antara sekian solusi yang digubah oleh Allah swt.
Bulan Ramadhan dalam petilasanya hadir dengan wajah yang paradoks. Di mana, kenaikan harga sembako menjadi ritualitas tahunan yang mengiringi kedatangan bulan Ramadhan. Tapi dalam prakteknya, Ramadhan serta merta mampu menyulap orang-orang shaleh yang khusyuk menjalani ibadah puasa. Dalam aras ini, ada dua hal yang berseberangan. Satu sisi, atau dalam sisi spritual Ramadhan mampu menyulap umat Islam menjadi orang yang menghargai waktu dan mengisinya dengan amal-amal shaleh. Namun, di sisi lain Ramadhan menjadi lahan bagi predator-predator ekonomi untuk memamfaatkan moment Ramadhan untuk menaikan harga.
Pada bulan seribu bulan ini, kebutuhan meningkat tajam. Mulai dari kebutuhan primer sampai kebutuhan sekunder dan kebutuhan lux meningkat drastis. Karena Ramadhan dalam prakteknya hanya mampu diterjemahkan sebagai terma “jihad dan kemenangan”, makanya ketika berbuka puasa ‘hidangan’ yang paling istimewa adalah kebutuhan yang paling penting. Sementara itu, hari raya dijadikan sebagai proses pendefenisian diri. Dari memakai aksesoris yang termewah, sampai dengan pamer mobil yang paling mahal masih mewarnai hari Raya yang mengiringi Ramadhan ini. Beginilah manusia memaknai kemenangan di bulan Ramadhan. Tidak mengherankan, karena budaya masyarakat saat ini masih berkutut dalam wilayah konsumerisme, dan termasuk untuk mengukur tingkat keberagamaan seseorang—tingkat penampilan menjadi variable penilaian dalam keberagamaan seseorang, karena Islam kita hari ini masih dalam tingkat Islam simbolis.
Dalam tradisi manusia modern, metode “kambing hitam” menjadi trend untuk melakukan kehendak diri dan hasrat diri. Walhasil, Ramadhan pun dijadikan ‘kambing hitam’ untuk mencari kesenangan diri dalam bentuk yang lain. Dalam bentuk hegemonik, Ramadhan dijadikan ‘kambing hitam’ oleh pemerintah untuk pengusuran atau pun pelarangan berdagang makanan di siang hari, dalihnya untuk menghormati bulan Ramadhan. Seharusnya tidak ada yang perlu dikorbankan dan diberengus hanya untuk mengkambing hitamkan bulan Ramadhan. Sebab untuk menyempurnakan ibadah puasa tidak dibutuhkan bentuk eksploitasi terhadap orang lain, termasuk melarang semua bentuk aktivitas yang merusak ibadah puasa. Ibadah puasa adalah ibadah yang membutuhkan keteguhan atau ‘istiqomah’, makanya tidak perlu ada proses hegemoni terhadap pedagang-pedagang. Karena ibadah puasa, sama persisnya dengan agama. Di mana, dalam ibadah puasa memiliki unsur pilihan dan tidak ada proses paksaan.
Ibadah Puasa dan Revolusi Mental Bangsa
Berpangkal dari ucapan Nabi saw “Sedikit betul yang puasa, dan banyak betul yang hanya lapar”, maka ibadah puasa memiliki kategori yang tidak lumrah. Soalnya, puasa mempunyai nilai jika Shaim betul-betul mampu menjalani nilai-nilai keteguhan atas jalan yang lurus secara ajeg. Tapi sebaliknya, ibadah puasa si shaim tidak akan mempunyai makna jika hanya mampu konsekwen sebulan penuh atas kebenaran, dan kemudian setelah Ramadhan berlalu maka watak asli akan kembali terlihat. Dalam konteks ini, keberkahan ramadhan akan tampak pada kontinuitas shaim atas keteguhan pada nilai-nilai kebenaran setelah bulan Ramadhan, maka dalam kondisi ini revolusi mental sukses dilakukan dalam bulan Ramadhan. Namun sebaliknya, kenestapaan bulan ramadhan menjadi nyata ketika Ramadhan hanya berfungsi sebulan penuh. Padahal Ramadhan membutuhkan modal yang besar untuk pelaksanaannya, sebutlah kenaikan harga atau pun sabotase ekonomi berupa penimbunan membuat Ramadhan hadir berbarengan dengan kenestapaan yang digubah oleh predator ekonomi.
Bangsa Indonesia, butuh sebuah media untuk revolusi mental bangsa. Reformasi bisa dikatakan gagal melakukan revolusi mental bangsa, karena memang reformasi hanya berkutut dalam wilayah-wilayah prosedural bukan kultural. Lantas apalagi yang mampu dijadikan sebagai media untuk merevolusi mental bangsa yang korup, hipokrit maupun ekslusivisme?. Ramadhan adalah satu diantara solusi-solusi yang baru menampakkan diri. Namun perlu penekanan bagi para Penda’i, sebab Da’i lah yang mempunyai akses untuk bersentuhan dengan alam pikir umat. Karenanya perlu penekanan materi dakwah yang berdimensi kenegaraan dan hubungannya dengan ibadah puasa. Selama ini, jamak tema-tema yang disungguhkan Da’i kepada publik berpusar pada wilayah-wilayah ‘imajinatif’ yang berhubungan dengan ibadah puasa, hingga terkesan tema-tema itu berbentuk mitos yang digubah secara imajinatif. Justru itu, perlu penafsiran yang kritis terhadap norma agama yang berhubungan dengan ibadah puasa. Secara empiris revolusi itu berawal dari ‘kepala’ dan kerusakan itu juga bermula dari ‘kepala’. Dan Ramadhan adalah moment bagi para ulama untuk melakukan terapi atas mental bangsa yang selama ini dikuasai oleh the savage mind (pikiran liar).
Ibadah puasa dalam kaitannya dengan revolusi mental bangsa yang telah dipenjara oleh budaya korup, hiporkrit, dan ekslusivisme yang mengarah pada menegasikan orang lain—perlu pelembagaan nilai-nilai “imsak bi” dan “imsak an”. Kang Jalal, melihat ‘imsak bi’ sebagai keyakinan yang dipegang teguh. Ia selalu ditegakkan dalam bentuk tindakan dan sikap. Dalam konteks ini, kebenaran telah menjadi prinsip hidup. Sementara itu, ‘imsak an’ dipahami sebagai proses menahan diri secara sungguh-sungguh dari hal-hal yang desktruktif. Ibadah puasa aktualnya manifes untuk pelembagaan kedua hal ini. jika dua hal ini mampu dilembaga dalam ibadah puasa oleh umat, maka revolusi atas mental bangsa yang karut marut akan mampu diawali dari bulan Ramadhan. Allahu a’lamu bi-shawab■
Komentar