tentang politik & demokrasi

UANG, POLITISI DAN MARGINALISASI DEMOKRASI

Oleh: Muhammad Sholihin

(Peneliti Muda PSIK Universitas Paramadina)

Demokrasi diserang hampir dari segala lini, kelompok ekstrimis agama, pebisnis menyerang demokrasi secara gencar. Di mana, kelompok ekstrimis agama menyerang demokrasi dengan kekerasan. sementara itu, pebisnis menyerang demokrasi dengan uang.

George W. Bush mengumpulkan 37 juta dollar, ini besar daripada yang dikumpulkan Bill Clinton atau Bob Dole selama kampanye 1996. John Corzine, mantan direktur Goldman Sachs, mengeluarkan 36 juta dolar dari kantongnya sendiri untuk memenangkan kursi senat. Kandidat yang kalah, Michael Huffington, mengeluarkan sebanyak 30 juta dollar ketika berusaha mendapatkan kursi Senate di California. Sementara itu, Kamis 6 September 2007, Chung Mong-Koo (Bos Group otomotif Hyundai dari Korea Selatan) dijatuhi hukuman tiga tahun penjara oleh pengadilan tinggi Seoul. Chung diajukan ke pangadilan karena meyediakan dana khusus bernilai jutaan Dollar AS untuk menyuap aparat Pemerintah, Politisi, dan Bankir demi keperluan perusahaan yang dipimpin oleh Chung itu.

Hampir di seluruh negara dunia, dari Moskwa sampai Paris, dari Washinton hingga London, perusahaan dan pebisnis mendanai para politisi dan partai politik. Di Amerika, minsalnya, ‘hanya seperempat dari satu persen populasi memberikan 200 dollar atau lebih kepada kandidat anggota kongres atau partai-partai politik pada putaran pemilihan 1995-1996 dan 96 persen rakyat Amerika tidak memberikan uang sepeser pun kepada politisi atau partai pada tingkat federal’. Lima ratus perusahaan terbesar Amerika, di sisi lain, memberikan 260 juta dollar pada para kandidat Partai Demokrat dan Partai Republik dari 1987 sampai 1996.

Di Indonesia pun, peran pebisnis dalam mendanai kampanye partai politik telah menjadi kebenaran umum dan dilihat sebagai gejala yang biasa dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Hingga pandangan elit politik ‘politik tidak akan mampu dimenangkan tanpa sokongan finacial yang kuat’ telah mengurita dalam kancah perpolitikan nasional. Dalam konteks ini, ‘kenapa untuk kampanye, partai politik mengeluarkan dana yang terlalu besar?’ pada dasarnya hampir semua partai politik tidak mempunyai dasar ideologis yang jelas, hingga untuk proses pembeda, partai-partai politik lebih cenderung mengunakan pola dan strategi bisnis dan pemasaran, maka meyediakan modal yang besar adalah solusi yang paling tepat untuk partai politik bertahan. Ketika partai politik telah memilih strategi pemasaran dalam kampanye, maka pebisnis pun diprioritaskan untuk mendapat akses dan menawar program dan kebijakan partai politik, pada aras inilah pebisnis membeli partai politik.

Menyelinapnya pebisnis ke dalam partai politik adalah pilihan dan itu adalah hak amnesia untuk memilih, tapi yang perlu ditentang adalah proses pengebirian kebijakan partai politik serta mengkontrol kandidat partai politik dalam skala yang lebih besar--politik etis adalah kata kunci untuk memahami bantuan yang dilayangkan oleh pebisnis kepada partai politik atau pun pemerintah dan kandidat politisi dari partai politik, dengan hanya membayar, maka politisi dan pemerintah hanya perlu mengurangi proteksi atau pun mengurangi regulasi yang menghambat proses akumulasi profit pebisnis. Inilah imbalan yang diterima oleh pebisnis dengan bantuan atas partai politik.

Uang memang telah menjadi Tuhan dalam masyarakat modern, uang tidak saja mempunyai fungsi ekonomis sebagai alat tukar, tetapi uang juga telah bermutasi menjadi fungsi politis, di mana kebijakan dan peraturan bisa dibeli dengan uang. Maka pebisnis atau pun pengusaha adalah kelompok yang paling diuntungkan dengan fungsi politis dari uang.

Uang dalam era kompetisi ekonomi telah menjadi panglima dan mempunyai otoritas untuk mempengaruhi tindakan manusia, tidak terkecuali, uang juga menjadi institusi yang paling ampuh untuk mengurangi otoritas negara secara terselubung. Dalam kondisi ini, cheobol akan menjadi penguasa tunggal dalam menata realitas politik dan kebijakan pun, dikontrol dengan uang oleh pengusaha-pengusaha swasta dan hanya untuk kepentingan bisnis mereka. Ketika uang telah menjadi panglima, maka transparansi dan kemaslahatan publik yang merupakan bangunan demokrasi secara otomatis teralienasi, hingga pada akhirnya hilang dalam dominasi bisnis dan lebur dalam sikap individualisme, ‘tidak’ akan ditemukan lagi ‘daulat rakyat’ yang ada adalah daulat ‘kapitalisme’.

Kasus lumpur Lapindo adalah penunjuk bagaimana peran kapitalisme mengkudeta sisi pengasih pemerintah dan menukarnya dengan sisi ‘apatisme’ dalam memcarikan solusi bagi korban lumpur Lapindo—punisment tidak pernah terlempar dari pemerintah kepada Lapindo, ‘kekuatan apa yang begitu hebat mengedalikan kebijakan pemerintah untuk Lapindo ini?’, praktis, untuk memahami persoalan ini, cukup dengan mencari relasi antara Lapindo dengan SBY yaitu Abu Rizal Bakrie, di mana saham terbesar dari Lapindo dimiliki oleh Bakrie dan kunci dari persoalan ini ialah politik etis.

Kuasa bisnis telah menyentuh hal yang paling deteil dari kehidupan bernegara, tak ada ruang yang tidak mampu dilewati oleh pebisnis, cukup dengan uang semua pintu akan dibukakan lebar-lebar dan pebisnis pun dibolehkan mengacak-acak dan mengontrol kebijakan yang akan dilahirkan oleh pemerintah. Di sisi lain, cheobol dengan uang yang dimilikinya akan bisa membawa apa saja dari satu negara dan melompat ke negara lain dan cheobol mampu membuat kolaps satu negara dengan seketika, cukup hanya dengan menarik sejumlah uang dari bank nasional negara tersebut. Maka serta merta perekonomian akan morat-marit. lihatlah, betapa hebatnya kuasa cheobol dan kuasa ini melampaui otoritas negara, bagi cheobol demokrasi hanya dijadikan sebagai justifikasi untuk bertindak sebebas-bebasnya, karena demokrasi memang menyunguhkan pelembagaan kebebasan, termasuk kebebasan mencari keuntungan yang melampai batas. Padahal, demokrasi bukanlah kebebasan tanpa tangung jawab, tapi demokrasi adalah melembagakan kebebasan secara bertanggung jawab untuk kehidupan sosial.

Demokrasi di Indonesia saat ini, diserang hampir dari segala lini—agama lewat kelompok ekstrimisnya menyerang demokrasi dengan bahasa provokatif “demokrasi adalah sistem kufur” dan sementara itu, pebisnis menyerang demokrasi dengan uang. Walhasil, demokrasi kehilangan pendukung sejati untuk menata ulang bangsa ini. Partai Politik sebagai garda yang menstranformasikan nilai-nilai demokrasi, malah kini terjebak dengan strategi pemasaran ala pebisnis. Kronis memang penyakit yang diderita oleh negara ini, proses demokratisasi yang hakiki dirusak dengan berbagai serangan oleh kelompok ekstrimisme berbasis agama maupun pebisnis. Tidak ada kata yang arif, selain reformasi kultural dari tingkat grass root sampai pada tingkat elit-elit politik dan bangsawan di negeri ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOGENSI SEKULERISME

Buku Terbaru

TEOLOGI PLURALISME AHMAD WAHIB