tentang demokrasi & minangkabau

DEMOKRASI DALAM ARUS ISLAM

DAN MINANGKABAU

Oleh: Muhammad Sholihin

Satu prakondisi bagi demokrasi yang sesuai dengan prinsip Islam adalah bahwa prinsip-prinsip ini dapat ditafsirkan dalam cara yang cocok dengan masyarakat modern

(Esposito)

Tanpa kebajikan-kebajikan sipil berupa kepercayaan, itikad baik di antara para warga negara, dan pengabdian yang kuat terhadap cita-cita demokrasi, para individu dan masyrakat kehilangan kapasitas untuk mencapai tujuan-tujuan mereka

(William M. Sullivan)

Diskursus tentang Islam demokrasi adalah hal ‘ijtihadi’ dan proses pembentukannya sebagai ‘wacanan’ telah mengakar dalam peradaban Islam itu sendiri. Dalam konteks ini, demokrasi dipahami sebagai ide-ide universal yang menghantarkan dunia pada tatanan egaliter dalam segenap aspek kehidupan manusia. Sementara itu, Islam sebagai agama dunia pada dasarnya memuat landasan-landasan normatif bagi demokrasi dan landasan ini secara aktif mampu mendorong terciptanya tatanan masyarakat sipil yang kuat, seperti fakta ‘negara madinah’ yang telah digubah oleh Nabi Muhammad SAW. Maksim Islam demokrasi lebih tepat dipahami sebagai nilai-nilai egeliter yang mengakar dalam Islam atau pun universal values yang bersumber dari Islam dan aplikasinya secara ril terhujam dalam pluralitas budaya dan sosio-politik dalam Islam society.

Prototipe Islam demokrasi dapat ditelisik dari model negara Madinah yang telah dipercontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, di mana nilai-nilai universalitas dari demokratis menjadi sebuah perekat ampuh dalam kemajemukan masyarakat Madinah—ini menjadi ‘fakta’ betapa pentingnya nilai-nilai universal demokrasi dalam masyarakat yang majemuk.

Demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Dalam tatanan demokrasi tidak dikenal adanya intervensi, diskriminasi, dan pengkebirian hak-hak manusia. Dalam kulah ini, soko guru dari demokrasi berupa kedaulatan rakyat, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi amnesia, persamaan di depan hukum, pluralisme sosial, ekonomi dan politik, serta nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat—adalah base capital terbentuknya masyarakat modern yang beretika.

Islam dan Demokrasi: berkelidan dalam universal values

Sebelum masa Islam, orang-orang Arab memiliki suatu lembaga yang disebut “nadi”, di mana orang-orang tua dari suatu suku atau suatu kota memilih kepala pemerintahan suku atau pemerintah kota mereka, dan untuk memusyawarahkan urusan-urusan mereka. Lembaga inilah yang kemudian didemokratisasikan oleh Al-Qur’an , dengan mengunakan istilah “nadi” atau “syura”.

Institusionalisasi Demokrasi pada dasarnya menuai waktu yang panjang. Sehingga demokrasi tidak bisa dipisahkan dari usaha demokratisasi. Sementara itu, bentuk demokrasi akan menuai deferensiasi pola. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas nilai-nilai yang tersedia dalam suatu masyarakat. Aras ini menemui fakta historis dari ‘Negara Madinah’ yang dibangun oleh Nabi SAW. Dalam konteks negara madinah ini, kondisi pluralitas budaya antara kaum Anshor, kaum Muhajirin serta kafir Quraisy mendorong terciptanya spirit demokratisasi kehidupan masyarakat Madinah.

Dalam masyarakat yang majemuk kekosongan dari nilai-nilai vuniversal seperti, nilai kepercayaan, solidaritas, toleransi, kerja sama yang dilandasi semangat musyawarah , akan bermuara pada konflik sosial yang berkepanjangan. Dan sublimasi gerakan mono-identitas akan mengerogoti keutuhan masyarakat.

Hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya terletak pada justifikasi Islam terhadap nilai-nilai universalitas demokrasi itu. Walaupun secara tekstual terma demokrasi tidak pernah ada dalam pondasi Islam, namun nilai-nilai universalitas dari bangunan demokrasi itu telah menjadi frame of movement yang di dakwahkan oleh Islam secara kontekstual.

Dalam suatu negara persoalan politik, ekonomi dan budaya adalah persoalan temporer yang membutuhkan rasionalisasi. Dalam konteks ini, demokrasi menyediakan seperangkat nilai yang menjadi patron dalam melakukan rasionalisasi terhadap aspek politik, ekonomi dan budaya. Rasionalisasi ini pada dasarnya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menyulam negara madinah. Dan faktanya ‘rule of game’ dalam bidang ekonomi dan budaya dirumuskan oleh Nabi SAW atas nilai-nilai egaliter dan nilai-nilai solidaritas. Walhasil, proses demokrasi di negara Madinah terbilang sukses dengan adanya justifikasi Islam atas nilai-nilai universalitas yang ada pada demokrasi.

Demokrasi Islam pada dasarnya bertitik tolak dari pondasi Islam per se. Dalam hal ini, dorongan Al-Qur’an terhadap manusia dalam mengambil keputusan agar selalu menyesuaikan diri dengan entitas pesan Al-Qur’an. Sementara itu, dorongan Al-Qur’an terhadap manusia agar memutuskan sesuatu bertumpu pada nilai-nilai universalitas, seperti keadilan dan egaliter. Pada dasarnya norma ini dapat dilacak dari esensi pesan Allah dalam QS. : 58 dan 5 : 51.

Demokrasi di Minangkabau

Mengkaji demokrasi Minangkabau berarti secara lansung mengkaji budaya Minangkabau itu sendiri. Hal ini didorong oleh fakta bahwa implementasi di ranah Minang bertitik tolak dari kearifan budaya Minang dalam hubungannnya dengan metode orang Minang berkomunikasi sesamanya dan juga berkaitan dengan proses pendefenisian indentitasnya.

Kalau ditelisik jauh ke dalam pelosok historis kebudayaan Minangkabau, maka akan ditemukan ‘dualism’ yang saling bertentangan dalam haluan politiknya atau dalam bahasa Josslin De Jong (1960) disebut dengan “hostile and friendship”. Dan dalam epos politik yang berlaku dalam sejarah minangkabau dikenal dua tokoh yang saling berseberangan haluan politiknya. Satu sisi cenderung mendorong sistem politik aristokrasi yang cenderung memahami tatanan politik ‘menitik dari ateh’ dan konsep ini dilahirkan oleh Datuk ketamangungan. Sementara itu, di sisi lain sistem politik yang cenderung demokratis dengan konsep ‘tabasik dari bumi ka langik’—Datuk Perpatih Nan Sabatang telah melakukan lembaga konsep demokrasi ini dengan menekankan pentingnya posisi ‘tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan’.

Dalam maksim demokrasi yang diwariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, norma bagi struktur politik ‘batanggo naik, bajanjang turun’ dipahami sebagai prosedur yang mesti dilaksanakan dalam kehidupan berdemokrasi di Minangkabau. Norma ini termanifestasi dalam pemerintahan nagari yang ada dalam masyrakat Minang, di mana peran ‘ninik mamak, alim ulama, cadik pandai’ terkonsentrasi sebagai ‘limbago dalam nagari’ yang memutuskan dan menentukan arah pemerintahan nagari. Kalau ditelisik ke dalam filosofi yang dikenal dalam tradisi masyarakat Minangkabau, maka struktur politik yang dibagi atas peran masing-masing lembaga bisa dipahami secara implisit dari: “Kok laweh pembidang langik, kok kaciek saganggam tangan, alam barajo, luak bapanghulu, kok sawah balupak, kok durian baruang.” Pepatah ini dimaknai sebagai eksistensialis dari batas-batas otonom dalam budaya Minang, terutama dalam unit nagari.

Minangkabau dengan keunikan budaya dan struktur politiknya telah menjadi sebuah image dari struktur demokrasi lokal atau pun grass root demokrasi yang bersumber dari kultur dan filosofi budaya yang terlembaga dalam masyarakat Minang itu sendiri. Dan secara aktual sistem demokrasi Minang ini terdeferensiasi secara alamiah dengan sistem demokrasi makro yang diterapkan oleh bangsa Indonesia dalam konteks kenegaraan formal. Grass root demokrasi atau ‘narasi kecil’ yang berjalan dengan rule of game yang tersembur dari rahim budayanya sendiri (Yasraf Amir Piliang, 1999: 19)--dalam prakteknya di Minang terlihat dari keberadaan nagari-nagari dan pada dasarnya nagari-nagari ini satu sama lainnya terpisah serta mempunyai otonomi dalam melaksanakan administrasinya masing-masing. Dalam gambaran yang utuh nagari dipahami sebagai: Hamparan Nagari sebagai unit budaya terkecil di belahan nusantara, merupakan lambang mikrokosmik dan sebuah tatanan makrokosmik yang lebih luas. Kesatuan geneologis dan teritorial yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip; musyawarah, pluralisme, empowerment, egalitarian, kemandirian dan kebersamaan adalah simbol sistem sosio-budaya, politik dan ekonomi masyarakatnya, Itulah ‘republik mini nagari’ dalam lingkungan konfedarsi pemerintahan Minangkabau, yang menjadi cikal bakal tumbuhnya demokrasi, paling tidak menurut Tsuyoshi Kato (1984:43) dan Fakhri Ali (1996:238)”. Dalam konteks ini, nagari lebih dekat dimaknai sebagai unit-unit negara-negara kecil, di mana pada masing-masingnya mempunyai teritorial dan aturan administrasi yang mandiri dan tidak ada hubungan struktural dengan nagari-nagari yang lain■


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOGENSI SEKULERISME

Buku Terbaru

TEOLOGI PLURALISME AHMAD WAHIB