RAMADHAN DAN RESTORASI TINDAKAN EKONOMI

RAMADHAN DAN RESTORASI TINDAKAN EKONOMI

Oleh: Muhammad Sholihin

Manusia adalah Hewan Bermoral Dan Tak Ada Tatanan Ekonomi Atau Politik Yang Bertahan Lama Kecuali Didasarkan Pada Basis Moral

(Nigel Lawson)

Menghayati ungkapan Nigel Nelson ini, terasa kian penting ditengah karut marut perekonomian dan kultur anak bangsa yang dibingkai dalam aksi-aksi post-kriminalitas. model bisnis yang berkerakter mafia, atau pun transaksi yang berbasis penipuan, bisnis berkedok pemberdayaan, bahkan politik dumping, predator harga, semua rangkaian perilaku ini telah membentuk terma post-kriminalitas yang dibangun atas velocity of act, dengan kombinasi teknologi dan strategi pemasaran—perilaku-perilaku rendah dalam ekonomi dimutasikan menjadi perilaku yang standar dan tidak terkesan problematik. Inilah dunia yang dikatakan oleh Yasraf Amir Piliang sebagai ‘Imagologi Of Suffering’ yang bermakna sebagai pencitraan yang pedih atas perilaku ekonomi yang kian tidak manusiawi.

Himpitan ekonomi, kadang membuat manusia menjadi predator-predator yang tidak mengindahkan element-element etika dan kemanusian dalam mencari kebutuhan ekonomi. terma self interest yang jamak dijadikan sebagai ideologi dalam tradisi masyarakat modern yang terjamah oleh ‘the savage of capitalisme’ atau keliaran kapitalisme dan telah menjadi reference untuk memaksimalkan utilitas. Tak dapat dipungkiri kriminalitas ekonomi terjadi atas ketimpangan ‘distribusi’ pendapatan yang kian ketara antara strata sosial di Indonesia, keliaran dan ‘economic crime’ terjadi atas kehendak struktur yang menjadikan manusia-manusia lemah sebagai eksternalitas dari perilaku elit-elit bisnis yang cenderung menganggap manusia tidak lebih sebagai gugusan ‘kapital’ untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Perilaku ekonomi telah tergadaikan dalam bentuk ‘low behavior’, disebabkan oleh degradasi impulsi perekonomian yang didorong oleh massif consumtion atas dogma ‘mengejar kepentingan diri’.

Muhammad Hatta dalam konteks ini, telah menjelaskan “kita tahu, bahwa kapitalisme itu memajukan imperialisme. Bertambah besar kapitalisme itu bertambah kuat sepak terjang imperialisme”. Sementara itu, Lenin mengibaratkan kapitalisme dengan ‘ uap yang menyebarkan kotoran dan polusi’. Tajnis yang disampaikan kedua tokoh ini, terasa benar dan terasa dekat dengan kehidupan manusia saat ini, kriminalitas dalam perilaku ekonomi, libido yang tidak terkendali dalam akumulasi profit telah menjadi sebuah fenomena dan budaya manusia-manusia Indonesia hari ini. Tak ada ruang bagi kehidupan yang bebas dari tekanan pragmatisme ekonomi—inilah produk kapitalisme global, pikiran-pikiran manusia dikontrol dengan satu kalimat ‘laisses faire, laissez passer’. Maka keranjingan untuk saling memangsa dan saling mengorbankan menjadi keniscayaan dari kalimat yang diajarkan oleh Nabi Kapitalisme, yaitu Adam Smith. Inilah potret dunia yang hampa dari cakrawala etika dan pegangan terhadap nilai-nilai kemanusia dan nilai-nilai trasenden yang berasal dari zat yang lebih tinggi.

Sikap skeptisisme yang dibangun oleh Mafia-Mafia Barkeley dan menyerahkan distribusi pendapatan secara total pada mekanisme pasar dan mengharamkan intervensi pemerintah dalam ekonomi, telah membuat ketimpangan ekonomi menjadi jebakan yang mendera negara-negara yang terbilang belum mempunyai social capital yang kuat, hingga perekonomian dan kesejahteraan tetap menumpuk dalam satu lingkaran ‘the big capitalism’. Walhasil, pada kelompok-kelompok mayoritas yang mengalami tekanan ekonomi dan secara struktural terpaksa mengekspresikan diri dalam bentuk tindakan-tindakan ‘memelas’, mengemis, mencuri, bahkan memainkan timbangan menjadi realitas yang tidak berdiri sendiri. Tapi ekspresi dari tindakan ‘memelas’ ini terjadi karena tekanan struktural yang maha dahsyat.

Adalah hal yang sulit untuk mengeluarkan bangsa ini dari ‘low cultural’, impulsi, dan mati rasa telah terlanjur menjadi pijakan bagi manusia Indonesia. Tapi keadaan ini, bukan lantas menjadikan kita bersikap ‘fatalistik’. Masih ada jalan untuk melakukan renungan dan melatih rasa kemanusia yang sempat terpenggal oleh model kehidupan yang ‘individualistik’—Ramadhan datang dengan seperangkat metode untuk mengubah watak manusia Indonesia.

Filantropi Ramadhan dan Implikasinya terhadap Social Capital.

Ramadhan tidak saja mendorong ‘distribusi’ pendapatan secara cepat, tapi telah mendorong terjadinya percepatan sirkulasi uang dan ini menjadi signifier bahwa ramadhan adalah sugestor yang baik bagi perekonomian. Lumrah diketahui oleh khalayak, bahwa dalam bulan Ramadhan kebutuhan akan berbagai hal meningkat drastis, hingga mendorong pengeluaran yang relatif meningkat, dalam sisi yang lain itu berarti pendapatan bagi orang lain. Namun, tentunya bukan hanya itu yang disungguhkan Ramadhan, berbagai filantropi ada dalam bulan ramadhan, zakat fitrah, wakaf, Sadaqah hadir sebagai media filantropi yang berfungsi untuk melatih diri, hingga menjadi pribadi yang kuat emosi sosialnya.

Filantropi yang ada dalam bulan ramadhan pada dasarnya bukan semata-mata dijadikan sebagai ‘instrument’ untuk taqarrub ilallah, tapi juga merupakan media untuk melatih rasa kemanusian, solidaritas, dan toleransi terhadap the others. Di sisi lain, ramadhan pada dasarnya menjadi sebuah media untuk memperkuat social capital, artinya ramadhan akan mendorong terjadinya kohesitas sosial yang dibangun atas modal-modal sosial berupa saling menghargai, saling asih-asuh, dan saling merasakan, semuanya bermuara pada sikap empati terhadap orang lain.

Ketika ramadhan mampu dihayati sebagai bulan penempaan diri, dengan seperangkat filantropi yang dihidangkan ramadhan, maka ‘low cultural’ yang membuat perekonomian bangsa hampir kolaps, akan tergantikan dengan ‘high cultural’ yang berdiri di atas social capital. Terwujudnya tindakan ekonomi yang berkarakter ‘kolektivisme’ adalah tujuan dari institusionalisasi dari nilai-nilai filantropi yang ada dalam ramadhan. Nilai-nilai penghargaan, kejujuran, dan kemanusian, serta kasih sayang yang merupakan bahan material dari ‘social capital’ bersiklus pada nilai-nilai kepercayaan atau trust adalah ultimat goal dari dimensi temporal ramadhan. Francis Fukuyama melihat adanya nilai-nilai trust yang terlembaga dalam masyarakat akan memberikan impuls yang positif terhadap perekonomian.

Penjelasan Francis Fukuyama tentang trust dan implikasinya terhadap perekonomian tergambar dari pernyataannya “Dalam bisnis, trust mengurangi kebutuhan merumuskan kontrak yang berkepanjangan, mengurangi keinginan menghindari situasi tidak terduga, mengurangi pertikaian, dan mengurangi kebutuhan proses hukum seandainya terjadi pertikaian. Trust mengurangi biaya dan waktu yang sering dikaitkan dengan sistem pengawasan tradisional dan kontrak hukum yang formal, hal-hal yang sangat penting dalam organisasi yang mementingkan pengetahuan. Dalam konteks itu orang-orang enggan menyampaikan pendapat karena takut idenya dicuri. Sebagai tambahan, Fukuyama menyatakan bahwa trust membantu orang-orang bekerja sama dengan lebih efektif, karena mereka lebih bersedia menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Jika bawahan merasa bahwa hal tersebut adil, mereka bersedia mengorbankan hak-hak pribadi demi kebaikan organisasi.” Tesis yang dilontarkan oleh Fukuyama ini, pada ghalibnya include dengan Maqashid Syari’ah dari anjuran untuk membayarkan zakat, wakaf dan Sadagah yang merupakan inti dari filantropi Ramadhan. Tapi pada tataran yang lebih spritual filantropi ramadhan berdimensi ganda, yaitu dimensi spritual dan dimensi temporal. Dan dalam kedua dimensi ini trust mendapatkan posisi yang urgen dalam membentuk karakter ekonomi umat dan berfungsi secara aktif sebagai suplemen untuk restorasi tindakan ekonomi yang lebih humanis dan berkeadilan. Allahu A’lamu Bi Shawab.


Penulis adalah Kabid. PA-HMI Komisariat Syari’ah IAIN “IB” dan alumni MTI Candung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”