PKI dan ketertindasan

HOLOCAUST TERHADAP PKI

Oleh:

Muhammad Sholihin

Sudah beberapa tahun ini tidak ada lagi tayangan yang mengerikan, tayangan yang menyuguhkan ke publik tentang setan-setan merah ‘PKI’ yang melakukan tindakan biadab terhadap para jenderal dan dituding sebagai biqot pancasila. Akankah ini pertanda bahwa ‘PKI’ telah diampuni?

Tanggal 30 September tiap tahunnya--pada masa Soeharto--tayangan ‘film’ G30 S/PKI selalu hadir dalam TV dan menemani masyarakat di Nusantara. Inilah potret bagaimana sejarah diwariskan pada generasi muda. Pada masa soeharto berkuasa di negeri ini, hampir di setiap tanggal 30 September ‘film’ G30 S/PKI ditayangkan dan menjadi ritualitas politik. Makanya tidak belebihan, jika film ini menyamai rating sinetron yang disukai oleh masyarakat Indonesia, faktanya ketika 30 September menjelang mayoritas masyarakat akan nongkrong di depan TVRI dan mengkhidmati film tragedi kemanusiaan ini.

Tragedi kemanusian yang disebakan oleh PKI yang telah menelan banyak korban dan kemudian korban itu diabadikan sebagai pahlawan revolusi, jamak ditentang secara global oleh siapa pun. Jelaslah, kekerasan adalah hal yang tidak bisa diterima untuk alasan apa pun. Maka PKI dengan kesalahannya harus rela dihapus dari konstelasi politik nasional. Dan untuk mengenang keblinger-an ‘PKI’ ini, 1 Oktober dijadikan hari kesaktian Pancasila, walaupun bisa dikategorikan sebagai ‘mitos’, namun Hari Kesaktian Pancasila cukup ampuh untuk menanamkan kebencian terhadap PKI. Tidak cukup itu saja, hukuman untuk PKI diakumulasi dengan perlakuan yang diskriminatif terhadap ‘anak pinak PKI’, tidak boleh menjadi pegawai negeri, dan sampai dengan pencabutan Hak atas akta kelahiran. Maka rentetan demi rentetan kebencian yang ditanamkan oleh rezim soeharto atas PKI bermutasi menjadi holocaust yang setara dengan holocaust yang diciptakan oleh PKI dalam kudeta revolusinya.

Harus diakui tanpa mahasiswa, tanpa ABRI dan tanpa rakyat,‘PKI’ tidak akan mampu dipunahkan dari bangsa yang beradab ini, walaupun hanya sebuah ‘ilusi’, namun tintel bangsa yang beradab telah terlanjur melekat ditengah-tengah ketidak beradaban sebuah bangsa. Maka jejak-jejak ‘PKI’ mau tidak mau harus dihapus dari kehidupan bangsa. Mungkin kita masih ingat dengan ‘TRITURA’ dan salah satu pointnya ‘hapuskan PKI’, sungguh gema ‘penghapusan PKI’ setara dengan tuntutan penurunan harga kebutuhan bahan pokok. Dalam konteks ini, kekuatan informasi lah yang mampu melembagakan ‘kebencian’ terhadap bigot seperti PKI, hingga ‘kebencian’ terhadap PKI pada masa itu setara dengan kebencian terhadap melambungnya harga kebutuhan pokok.

Soeharto terbilang penguasa yang sukses memangkas dan membasmi PKI, dengan seperangkat kebijakan, seperti, ideologisasi bahwa ‘PKI’ adalah pengkhianatan terhadap Pancasila. Maka di sekolah-sekolah buku-buku pelajaran sejarah dikaburkan sebagai ‘ideologisasi’ kebencian terhadap PKI. Tidak hanya itu, seperangkat Tap MPR tentang pelarangan PKI ditelurkan sebagai upaya membasmi PKI sampai ke akar-akarnya.

Untuk membenci ‘PKI’ memang banyak alasan yang direduksi. Kebiadaban yang dilakukan oleh PKI, kemudian ajaran PKI yang diklaim secara membabi buta bertentangan dengan Islam adalah alasan-alasan besar dibalik ‘kebencian’ terhadap PKI. Kebiadaban PKI minsalnya, dilihat sebagai justifikasi untuk pembrendelan secara subversif terhadap buku-buku yang beraroma komunisme. Bahkan para pemikir yang mengawinkan metodologi komunisme dalam khazanah pemahamannya, tidak luput juga dari ‘kambing hitam’ sebagai antek-antek komunisme, seperti halnya Pramoedya Anata Toer yang diasingkan ke Digul karena hanya mengkritis penguasa dengan pendekatan ala Marxisme. Rangkaian demi rangkaian yang digubah oleh penguasa untuk menanamkan kebencian terhadap ‘PKI’, tidak lain adalah legitimasi atas kekuasaan yang dibangun dengan politik pencitraan. Maka dapat dipahami, semua ‘kebencian’ yang direduksi ini adalah politis dan sepenuhnya ditujukan untuk legitimasi kekuasaan.

Kebiadaban pasca G30 S/PKI.

PKI memang salah, PKI memang ‘keblinger’, dengan rangkaian tindakan kekerasan yang dipertontonkan hanya untuk kekuasaan. Maka kini ‘anak-pinak PKI’ terpaksa menanggung penderitaan yang luar biasa. Pengucilan, perlakuan diskriminatif atas hak politik dan atas hak untuk mendapat pekerjaan harus ditanggung sebagai konsekwensi sejarah yang diperlakukan secara tidak ‘adil’ terhadap putra-putra PKI. jika, kita mau membuka mata dan pikiran secara sehat. Maka sejarah akan berkata lain, ada banyak holocaust balasan yang diciptakan untuk para kader-kader PKI. Dan sampai hari ini, tidak banyak masyarakat yang mengetahui perihal Holocaust yang terjadi besar-besaran di pulau Bali dan Bali seketika, dijadikan sebagai ladang ‘pembantaian’ untuk kader-kader PKI. kenapa ini tidak pernah disungguhkan ke publik sebagai sebuah sejarah kelam bangsa yang lebih kejam dibanding dengan tragedi G30 S/PKI?.

Kebiadaban memang cenderung dibalas dengan kebiadaban yang lain, dan ini mengambarkan watak primitif sebuah bangsa. Ketika PKI membantai para jenderal, maka balasannya semua kader-kader PKI, GERWANI dan semua yang berhubungan dengan PKI akan dibantai secara kejam. Kebiadaban ini, dilupakan begitu saja. Dan hanya segelintir tokoh yang menguraikan dan memaki kebiadaban ini secara terbuka.

Soe Hok Gie dalam hal ini, telah menelanjangi kekejaman yang dilakukan atas kader-kader PKI dalam sebuah opininya yang bertajuk “di sekitar peristiwa pembunuhan besar-besaran di pulau Bali” dan dimuat di media mahasiswa pada 1967. Soe Hok Gie telah membukakan mata dunia, bagaimana Bali dipersiapkan sebagai ladang pembantaian untuk kader-kader dan simpatisan PKI.

Dipermulaan tahun 1966, ketakutan dan ketiadaan harapan menyergap Kader-kader PKI dan klimaksnya kader-kader ini menyerah tanpa melakukan perlawanan sedikit pun, maka sikap ‘nrimo’ diperlakukan seperti apa pun menjadi sebuah pilihan kader-kader PKI. Pilihan ini terjadi, ketika mass terror diperlakukan berkepanjangan, hingga ketakutan akan mudah menyerang kelompok yang diteror secara ajeg dan akhirnya menyerahkan diri tanpa syarat. Strategi ini telah dipraktekan oleh Stalin di Rusia dalam menebar ‘ketakutan’ pada lawan-lawan politiknya. Kekejaman yang tidak lumrah bagi bangsa yang membangun budaya demokrasi, namun sejarah ketika itu dikaburkan, maka pembantaian terhadap kader-kader PKI menjadi hal yang lumrah.

Soe Hok Gie, dalam sisi yang lain juga telah melihat dengan jeli ‘bagaimana Pembantaian terhadap PKI’ juga didalangi oleh elit-elit yang sepaham dengan PKI yang berupaya membersihkan diri, dengan menghasut rakyat membantai kader-kader PKI. Maka, proses ‘self washing’ menjadi pilihan elit-elit PKI yang berkhianat ini.

Dipenghujung tahun 1965 dan diawal tahun 1966, tentara-tentara partikelir dengan seragam hitam dan bersenjatakan golok, pedang, telah melakukan tindakan-tindakan pembantaian, pembakaran terhadap rakyat yang terlibat PKI. ini dilegalkan sebagai tindakan yang sah dan dinamai dengan proses ‘warming up’ yang ditujukan untuk pembersihan, mirip dengan ‘genocide’ yang dilakukan di Ruwanda, Rusia. Namun ironis ini malah dilakukan kepada sesama bangsa sendiri. Tiga Bulan saja Bali telah berubah menjadi neraka penyembelihan, dan tidak tertutup kemungkinan penyembelihan anak bangsa ini juga dilakukan di daerah-daerah lain di Nusantara, sebab ‘kebencian’ terhadap PKI waktu itu telah mencapai ubun-ubun kepala dan diledakkan dalam bentuk tindakan-tindakan kekerasan.

Dapat dibayangkan bagaimana holocaust terjadi ketika tokoh-tokoh besar, seperti Wedagama seorang tokoh PNI menghasut rakyat untuk membunuh PKI dan sampai-sampai mengatakan itu adalah tindakan yang dibenarkan oleh Tuhan dan dilegalkan secara hukum. Maka, pembantaian dan pemerkosaan atas GERWANI pada waktu itu dianggap sebuah kebanggaan. Siapa yang bertanggung jawab atas pengkaburan sejarah ini?■

Penulis adalah Peneliti Muda PSIK Paramadina; Pendapat pribadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”