DEMOKRASI DALAM CENGKRAMAN ISLAM GARIS KERAS

DEMOKRASI DALAM CENGKRAMAN ISLAM GARIS KERAS

Oleh: Muhammad Sholihin

(Peneliti Muda PSIK Universitas Paramadina)

Beberapa dekade ini, Indonesia telah terpenjara oleh gejala ekslusivisme agama. Hingga keshalehan agama pun telah melampaui batas private dan menelikung ke wilayah publik--Gerakan penegakan syari’at dan provokasi penegakan khilafah oleh Hisbut Tahrir Indonesia adalah fakta bahwa bangsa ini telah diselimuti oleh gerakan-gerakan ekslusivisme agama.

Penafsiran liberal atau pun pemahaman kontekstual terhadap Islam diklaim sebagai bagian dari kesesatan beragama atau bid’ah yang diharamkan. Kata-kata ‘kafir dan halal darahnya’ menjadi hal yang di anggap keshalehan dalam beragama. Jargon menolak Yahudi dan umpatan terhadap Amerika Serikat dianggap bagian dari Jihad. Hingga pada akhirnya ‘sekulerisme, pluralisme dan liberalisme’ dianggap kesesatan yang akan menghancurkan umat. Tindakan akresif terhadap kemaksiatan telah dijadikan trend dalam memahami kepatuhan terhadap tuhan. Generalisasi konsepsi jihad terhadap ahlu al-kitab di anggap sebagai kewajiban beragama. Fenomena-fenomena ini, bertitik tolak dari pandangan yang ekslusive terhadap agama, hingga primodialisme agama menjadi bagian dari dakwah agama dan pada siklus berikutnya bermutasi menjadi gerakan garis keras.

Gerakan garis keras ini tidak hanya terjadi pada wilayah agama, tapi juga menyelinap pada wilayah budaya, sebutlah gerakan pemurnian adat di Sumatera Barat yang menamakan dirinya dengan Forum Peduli Sumatera Barat atau pun Paga Nagari. Fenomena gerakan garis keras ini kian massif dalam kehidupan bernegara akhir-akhir ini. Toleransi antar umat beragama atau sikap inklusif dalam menerima perbedaan mulai tergeser oleh isu-isu yang menguatkan identitas agama.

Agama dalam sejarah bangsa Indonesia memang menuai polemik, apakah agama akan diformalkan oleh negara, hingga agama mempunyai otoritas tersendiri dalam mengatur publik ataukah agama harus dipisahkan sama sekali dari kehidupan publik?. Polemik ini tetap berkelanjutan, tapi meredup pada rezim orde baru, karena memang diredupkan dengan politik penyeragaman. Walhasil, agama samasekali tidak mendapat ruang dalam kehidupan publik. Kondisi ini ibarat, ‘air yang ditekan, maka dia akan melambungkan tekanan tersebut ke atas sebanding dengan tekanan yang diberikan’. Begitu pula tekanan terhadap agama yang dilakukan oleh orde baru, agama menyeruak menjadi isu-isu politik ketika era reformasi mendedahkan kebebasan. Dan negara pun kehilangan kontrol terhadap gerakan garis keras yang muncul sebagai respon dari kebebasan pada era reformasi. Aktualnya gerakan garis keras ini dibangun atas primodialisme agama yang berlebihan, hingga kemajemukan identitas bagi kelompok garis keras dipersepsikan sebagai bahaya yang sesaat bisa mengancam kelanjutan gerakan mereka. Maka ideologi yang dibangun atas pandangan eksklusifisme beragama pada organisasi garis keras menjadi sebuah tradisi yang melekat dalam tindakan jama’ah mereka minsalnya, menegasikan identitas kelompok lain atau pun kecaman, dan kekerasan terhadap umat yang berbeda dianggap bagian dari keshalehan. Fakta ‘kemejemukan’ tidak lagi dianggap sebagai bagian yang menguatkan identitas keberagamaan.

Konflik horizontal antara kelompok garis keras dengan kelompok lainnya, kadang tidak bisa dihindari. Hal ini tersembur dari eksklusivisme beragama yang dibarengi dengan proses penegasian identitas lain, dan pada tahap ini demokrasi pun akhirnya dilempar ke luar arena. Dalam konteks ini, menguatnya kelompok garis keras didorong oleh rasa frustasi terhadap sistem demokrasi yang tidak kunjung membuahkan hasil, hingga romantisasi terhadap sistem politik yang diterapkan oleh generasi awal islam menjadi pilihan untuk mengantikan sistem demokrasi dan pintu ijtihad pun secara perlahan-lahan mulai ditutup kembali. Salah kaprah, jika mempersepsikan demokrasi sebagai tujuan atau pun cita-cita politik. Secara normatif, demokrasi bukanlah cita-cita tapi demokrasi adalah nilai-nilai egeliter yang melembagakan kebebasan secara bertanggung jawab.

Arus deras gerakan garis keras ini, secara perlahan-lahan menghanyutkan negara dalam arus ‘integrasi agama dan politik’. Gerakan penerapan syari’at islam mulai disahuti oleh pemerintah, di mana penerapan syari’at atau pun implementasi peraturan daerah berbasis syari’at di beberapa daerah menjadi prospek yang positif bagi kelompok garis keras. Dan pada sisi lain, menjadi ancaman bagi demokrasi. Karena apa pun bentuknya, implementasi peraturan daerah syari’at adalah kenyataan yang berarti melegalkan sebuah dominasi agama mayoritas terhadap kelompok lainnya.

Bagi bangsa yang majemuk, agama idealnya dijadikan sebagai hal yang private dan tidak dibawa menyelinap masuk terlalu jauh ke ruang publik. Sebab tidak akan ada sebuah pemahaman yang utuh terhadap aspek satu agama oleh agama lain, karena persepsi antara satu agama terhadap agama lain telah terkontaminasi oleh hal-hal yang politis, hingga yang timbul ada pandanga sintementil. Secara normatif pun agama dan ruang publik adalah dua hal yang berbeda dimensi. Agama berdimensi spiritual yang berpangkal dari hal yang irrasional, sebaliknya ruang publik diregulasi secara rasional, karena memang ruang publik ini berdimensi material yang diproses lewat subjektifitas individu. Dalam konteks ini, pemahaman akan demokrasi perlu disegarkan kembali sesuai dengan konteks aslinya. Di mana demokrasi berarti ‘pelembagaan sebuah kebebasan’, dan demokrasi berarti tersedia ruang publik yang netral untuk bersemayamnya berbagai macam identitas dan kepentingan yang berbeda.

Agama dalam masyarakat yang menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai pilihan sikap, akan menjadi sebuah patronase yang rasional dari nilai-nilai universal, seperti, solidaritas, kepercayaan, kebebasan, dan persamaan. Dimana gerakan garis keras tidak akan mendapat lahan yang subur, karena secara alamiah memang ditolak berdasarkan kecenderungan manusia untuk dapat hidup berdampingan secara damai, walaupun memiliki identitas yang plural. Maka demokrasi adalah harga mati bagi pluralitas identitas, agar bangsa ini tetap utuh dan tidak terkotak-kotak atas dasar primodialisme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Socialism; An Overview

Gigilku

Muhammad Sholihin, Dari Kegelisahan Terbitlah “Api Paderi”