Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2010

Peziarah Makna

Peziarah Makna Bual-bual Muhd. Sholihin 1/ Di depan monitor, aku terhubung denganmu lewat "spot" frekuenzi, yang berhamburan membubung ke titik pantul satelit. Ingin 'ku menubuh dengan mu, lewat pertemuan ragawi. Tapi, di sini tak tersedia. Melainkan hanya tabung kaca, dan selarik cahaya kerdap-kerdip dari "bandwith", yang memisahkan aku dan eksistensmu. Kita begitu terganjal. Dalam persentuhan ini, makna dan hakikat begitu hambar. Lagi-lagi kita bukanlah kemenubuhan. Aku hanya bisa membaca rinai zaman di wajahmu, lewat kata, yang tak lagi esensial. Hanya regulasi tanda-tanda. Pun, larik-larik mega yang berlari seperti puzle-puzle huruf, pecah-pecah. Katamu, sama saja. Lalu kemanakah kita pergi, untuk sekadar menjadi peziarah makna. Ke hutankah? Juga, tidak. Atau ke makan, Para Syekh-kah? Juga, tidak ada kemenubuhan di pusara itu. 2/ Kata, penyair berambut gimbal. Ia berladang, kutu dan kotembe. Cukup pada bingkai hidup saja. Lalu lewat, hati dan erotik...

Nujum Waktu

1/ Ia bak pedang. Kata tuan, dulu, di tepi lingkaran halaqah, al- waqt ka sayf . Masih tergiang-ngiang kata-kata itu, hingga menjadi melodi tak jadi-jadi. Ia mengalir, tak jedah, ia tak berhenti. Kendati, di ujung bumi, sejuta doa masih saja menjadi lintuni juga tak jadi-jadi. Ia terus melaju, menujumkan "sebilah", lalu putus pada persinggahan. Apa yang tersisa, bagi setangkai tubuh, di pinggir waktu selain "nujum-nujum". Menjadi gerai, yang terus bergoyang karena diwan seiring seruling yang bertiup jingga di kepala. Ya, tengah bernujum, kala lerai waktu, sekadar berjabat. Lalu tak lagi berdamai. 2/ Dalam waktu, menjadi.Tubuh bertumbuh, seiring jubah benak kian mentangkup realitas. Dalam waktu, membubung udara tinggi, jika saja tak berdamai dengan puting beliung dari zaman di atas cakrawala, tanpa realitas. Dalam waktu, menanak racun, jika mulut berbusa meminum arak dari erotika zaman. Juga dalam waktu, ada, jika saja masih terus bernujum menyayat harapan menja...

Sajak-sajak Muhd. Sholihin

Suara Uang Tak lama lagi akan bubat di tanah Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa ini. Akankah kita berkuah uang lagi. Sudah hampir pecah telingga ini, mendengar gemerincing uang yang 'kau' hamburkan di gelangang pembunuhan tersembunyi,pada pemilihan di ujung senja. Tuan! Suara rakyat memang murah, tapi tidak hati mereka. Tuan! Tambur telah ditabuh. Ke sanakah kau akan menyusup? Membawa banyak buntil uang. Mungkin bagimu uang sakti. Karena ia bisa membeli nyawa, bahkan suara. Sungguh, tuan kau hanya bisa menguasai suaraku tapi tidak hatiku. Jika masih saja kau mengandalkan uang, maka kian ditampiklah dirimu oleh jelata, yang hampir melata oleh bau karet, yang diperam satu tahun. buat tuan yang berlaga untuk Dharmasraya ini suaraku, yang sengau. tapi cukup melegakan jelata, yang baru saja bangun untuk kembali menghitung batang karet, yang mulai tua Yogyakarta, 11 Februari 2010 Sukma Nietzsche Kita terlempar, menjadi pertapa sunyi di kali kehidupan. Kita terlempar, menjadi ...