KRISIS GLOBAL DAN PERTARUHAN FISKAL
Oleh: Muhammad Sholihin
Penghancuran kewarganegaraan-kewarganegaraan oleh ekonomi liberal telah mendorong meluasnya permusuhan. Sistem ekonomi ini telah mengubah umat manusia menjadi kumpulan hewan yang sangat lapar yang saling memakan satu sama lain hanya kerana setiap orang mempunyai kepentingan yang sama dengan yang lain – tak cukup itu pembasmian keluarga pun menjadi incaran berikutnya.
(Frederick Engels)
Stabilitas sistem keuangan Indonesia pada semester I 2007 tetap terpelihara sudden reversal dengan prospek yang baik. Adanya kekhawatiran tentang arus modal berjangka pendek, serta kemungkinan contagion effect dari krisis subprime mortgage yang terjadi di beberapa negara lainnya akhir-akhir ini ternyata tidak menimbulkan gangguan yang cukup berarti pada ketahanan sistem keuangan Indonesia. Terpeliharanya stabilitas sistem keuangan tidak terlepas dari dukungan stabilitas moneter dan membaiknya perekonomian domestik, di samping karena masih tetap terkendalinya tekanan dari perekonomian internasional. Secara keseluruhan, kondisi ini kondusif bagi peningkatan kinerja sektor keuangan. Sebagai industri yang mendominasi sektor keuangan, perbankan tetap likuid dengan kualitas aktiva produktif yang relatif terjaga, profitabilitas yang tinggi dan permodalan yang kuat. Namun, dengan adanya berbagai sumber instabilitas maka upaya antisipasi dan langkah-langkah mitigasi risiko perlu terus menerus dilakukan. Tetapi kini, optimisme ini buyar ke awan tatkala krisis global mendera dunia internasional, contagion effect yang ditakutkan kini menjadi keniscayaan yang mencegat, dan menghantui setiap negara. Setalah beberapa bulan berjalan, ternyata negara berkembang semakin gagap merespon krisis global ini.
Dalam locus di atas, pemerintah selalu membuat kesalahan besar dengan menganut system „tricle-down effect“, dimana jalannya roda perekonomian diperankan hanya kepada „sekelompok“ orang tertentu. Sebagai akibatnya, keberhasilan pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian orang, sementara kehidupan sebagian besar penduduk lainnya tetap diliputi kesederhanaan atau bahkan kemiskinan. Ini bermakna bahwa krisis tidak sepenuhnya bersipat “natural/alamiah” atau lebih populer dengan “kegagalan pasar”. Tetapi dibalik itu krisis juga terjadi akibat “human error” atau “salah urus”. Asumsi ini beranjak dari “kepanikan global” dalam merespon krisis keuangan yang hebat saat ini.
Pemerintah hampir “pesimis”, walaupun dalam televisi Presiden dan jajaran menteri menampilkan rona wajah yang biasa-biasa saja—tak ada kelihatan tanda-tanda risau menangapi krisis global. Dibalik itu, terdapat rasa was-was yang hebat. Betapa tidak, setiap waktu perekonomian bergerak tak menentu, dari hari ke hari indikator ekonomi kian melemah. Ketakutan ini memuncak dengan tiba-tiba dengan sentakan krisis politik yang melanda Thailand. Ini menjadi keniscayaan jika negara terlalu lemah, dan bertekuk lutut dibawah cengkraman krisis ekonomi global.
Jika di Amerika “optimisme” konsumen mengalami kolaps yang dalam, begitu juga di Indonesia. Gejolak di Bursa Efek Jakarta menjadi fakta atas kolaps-nya sektor non-rill “Kita”. Keputusan pemerintah “menyelamat” beberapa korporat besar yang terhempas oleh badai krisis menandakan terjadinya penurunan kepercayaan konsumen, dan aktor ekonomi, hingga memuncak menjadi atmosfer was-was terhadap gejolak ekonomi. Dalam kondisi ini, mencari “posisi aman” menjadi pilihan rasional—parade penarikan investasi—adalah gejala dari mencari posisi aman dalam krisis. Di Indonesia semua ini kini tengah terjadi.
Jika diperhatikan, selama ini pemerintah cenderung merespon krisis sesuai dengan tipikal krisis yang terjadi. Krisis moneter minsalnya concern dipecahkan melalui pendekatan pure moneter. Padahal, lintas sektor jaun lebih efektif ketimbang bertumpu hanya pada satu sektor pendekatan. Jika tidak berlebihan, dalam kondisi saat ini keberanian pemerintah untuk mencoba pendekatan intersektoral, sedang ditunggu.
Arena Fiskal Dan Ladang Moral
Krisis global saat ini memuncak , dan menyebabkan titik nadir bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Krisis ekonomi mengintai dan bergelayut dalam anotomi sistem ekonomi dunia. Lalu apa yang salah? Menegaskan kembali, bahwa krisis selalu akan berulang secara berkala ketika akar krisis itu masih terus dibiarkan tumbuh dalam sistem ekonomi yang tengah dijalankan. Tidak berlebihan jika hari ini banyak kalangan menegaskan krisis ini adalah turunan yang tak dapat dieliminir dari sistem ekonomi kapitalisme atau pun watak neo-liberalisme. Justeru itu, perlu agaknya menelisik kembali doktrin ataupun teorema yang telah terlanjur menjadi ‘”iman” dalam ekonomi.
Ada trend keyakinan yang dianut dan ini menjadi ritualitas yang selalu dilakukan oleh negara dalam merespon krisis. Pertama, paradigma bahwa krisis ekonomi merupakan konsekuensi dari market failure, hingga untuk mengobatinya perlu pendekatan kovensional, entah itu melalui pendekatan moneter ataupun mekanisme non-moneter. Kedua, paradigma bahwa kegagalan pasar (market failure) merupakan gejala alami, dan Ia dengan sendirinya akan mencari titik keseimbangan baru. Ketiga, negara memahami krisis adalah gejolak alami, hingga tidak memaknai-nya sebagai “persoalan” psikologi sosial.
Dibalik krisis global ini, ada beberapa “motif” yang berada diluar paradigma yang sedang bercokol dalam minda negara. Mafhum, bahwa krisis tidak hanya terjadi berdasarkan tarikan “alamiah” atau sebagai pencarian titik equiblirium ekonomi. Tetapi, sesungguhnya krisis juga merupakan tarikan “human error”, atau “bad administration” sebagaimana yang diteorikan oleh Ibnu Khaldun. Dalam kerangka ini, ketika krisis mencuat sebagai keniscayaan dari “human error”, maka setidaknya negara mesti berangkat dari pijakan moral. Intinya, bagaimana negara mengkonstruksi pendekatan moral dalam memecahkan krisis ini.
Pendekatan moral dalam mematahkan krisis bermakna negara menyiapkan kerangka moral, baik dalam kerangka standar moral untuk persaingan usaha, membuat aturan hukum sebagai upaya mencegah dan memberikan aspek jerah terhadap penyimpangan elit, baik korupsi, maupun budaya hedonisme akut. Pendekatan ini jamak dikenal sebagai “moral suation” atau “ajakan moral”. Dan sesungguhnya, pendekatan ini lebih tetap dimaknai sebagai upaya fiskal, walaupun dalam teorinya “moral suation” bagian dari pendekatan moneter.
Dalam bentuk lain, pendekatan fiskal concern digunakan untuk mematahkan krisis; tentunya dengan rigiditas anggaran, baik limitasi pengeluaran negara untuk sektor non-rill, maupun limitasi anggaran negara untuk operasional program rutinitas yang tidak mengerakkkan sektor rill. Dalam areal inilah, sesungguhnya krisis global saat ini menjadi ruang untuk menerapkan strategi fiscal oriented untuk mematahkan krisis.▪
Penulis adalah Alumni MTI Canduang,
Dan Sekretaris Eksekutif Nagari Institute
Komentar